Halaman

Senin, 18 April 2011

KEADILAN RESTORATIF BAGI KORBAN TINDAK PIDANA


Konsep keadilan restoratif yang diajukan menteri hukum dan HAM Patrialis Akbar bebrapa waktu yang lalu menarik untuk dicermati, karena apa yang disampaikan oleh Patrialis menunjukkan kesadaran akan lemahnya sistem peradilan pidana dinegara kita. Sistem peradilan pidana adalah usaha masyarakat untuk memerangi kejahatan dengan cara memberikan hukuman pidana “penal” kepada pelaku tindak kejahatan yang sering diidentikkan dengan politik kriminal, yang oleh Mark Ancel didefinisikan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.
Menurut Barda Nawawi Arief seperti yang dikutip oleh Nyoman S Putra Jaya, mengatakan bahwa sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakikatnya suatu proses penegakan hukum. Sistem peradilan jika dilihat secara integral, merupakan satu kesatuan berbagai subsistem yang terdiri dari komponen “substansi hukum”, “struktur hukum”, dan “budaya hukum”. Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses peradilan terkait erat dengan ketiga komponen tersebut yaitu norma hukum (sibstansi hukum), lembaga/aparat (struktur hukum), dan nilai-nilai (budaya hukum).
Apabila Sistem peradilan pidana (SPP) dilihat sebagai sistem menegakkan hukum pidana, maka SPP merupakan serangkaian perwujudan dari kekuasaan menegakkan hukum pidana yang terdiri dari empat subsistem yaitu
1.      Kekuasaan penyidikan (oleh lembaga penyidik)
2.      Kekuasaan penuntutan (oleh lembaga penuntut umum)
3.      Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan pidana (oleh pengadilan)
4.      Kekuasaan pelaksanaan putusan (oleh badan eksekusi)
Keempat tahap diatas merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum integral, dan sering disebut dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu.
Kalau kita lihat model SPP diatas maka akan diketahui bahwa sistem perdilan pidana terpadu tidak memperhatikan kepentingan korban, bahwa belum tentu dalam sebuah kejahatan ketika pelaku kejahatan dipidana, lalu korban merasakan keadilan, karena yang kadang terjadi adalah justru korban malah menjadi korban untuk kedua kalinya akibat putusan yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku kejahatan tersebut, sebagai contoh jika terjadi kasus pengendara mobil menabrak penyeberang jalan, ketika si penabrak ini dijatuhi hukuman penjara, maka kebutuhan korban akan biaya rumah sakit menjadi tidak terpenuhi, padahal korban berada di Rumah sakit dan membutuhkan biaya untuk pengobatannya, hal ini tentu saja menjadikan putusan hakim menjadi tidak adil.
Sehingga muncullah tawaran atau ide keadilan restoratif, dimana ide ini tidak lepas dari eksistensi pandangan yang sebelumnya telah mendominasi mengenai pidana dan pemidanaan yaitu pandangan retributif. Dalam pandangan retributif tidak terdapat tempat bagi pandangan pribadi terutama korban, mengenai pidana. Dalam teori retributif kejahatan diberikan pengertian sebagai perbusatan melawan Negara, sehingga yang merepresentasikan diri sebagai korban kejahatan, mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan dimana kerugian dan penderitaan korban sudah dianggap tercermin dari ancaman dan putusan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan.
Pandangan keadilan restoratif lebih menekankan pada perbaikan atau pemulihan penderitaan korban sebagai wujud pertanggungjawaban pelaku tanpa mengesampingkan kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku dan kepentingan untuk menciptakan serta menjaga ketertiban masyarakat, juga memberi kesempatan kepada korban untuk terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian perkaranya.
Pada kasus tabrakan misalnya, korban seringkali tidak mendapat solusi atas masalah yang dihadapi, yaitu mendapatkan biaya rimah sakit dan penggantian atas biaya hidup karena ketidakmampuannya bekerja akibat tabrakan yang ia alami. Demikian juga dengan sang penabrak, ia harus mendapatkan pidana penjara sehingga baginya untuk apa juga memberikan uang pengobatan kepada korban, toh ia sudah dipenjara. Dengan demikian pengenaan atau penjatuhan pidana penjara pada pelaku kejahatan berimbas kepada keluarga korban juga keluarga pelaku sendiri, dan tentu saja ini bukan sebuah solusi.
Cara pandang keadilan restoratif menuntut usaha kerja sama masyarakat dan pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan korban dan pelaku dapat melakukan rekonsiliasi konflik dan menyelesaikan kerugian mereka dan sekaligus menciptakan rasa aman dalam masyarakat. Dari paparan diatas maka kiranya ada pembaharuan terkait sistem peradilan pidana kita agar lebih memberikan perhatian akan nasib korban tindak kejahatan secara ekonomi dan psikologis, sehingga korban bisa mendapatkan kembali hak-haknya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar