BAB
I
PENDAHULUAN
Korporasi sebagai buah
dari kemajuan zaman telah banyak membawa manfaat bagi banyak orang di dunia. Tujuan
korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan
sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi baik itu berupa suatu
badan hukum maupun bukan memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan
aktvitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku, bahkan memunculkan korban yang menderita
kerugian. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hukum
sehingga tindakan korporasi yang bertentangan dengan hukum tersebut semakin
meluas dan sulit dikontrol. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti
kejahatannya terhadaap masyarakat termasuk juga mengintervensi para aparat
penegak hukum.
Kejahatan korporasi
dewasa ini semakin canggih baik bentuk ataupun jenisnya maupun modus
operandinya sering melampaui batas-batas negara dan juga sering dipengaruhi
oleh negara lain akibat dari era globalisasi. Sebagai dampak era globalisasi,
kejahatan korporasi yang menonjol adalah price
fixing (memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan iklan), seperti di bidang farmasi
(obat-obatan), kejahatan perbankan seperti cyber
brime, money laundering, illegal logging, dan kejahatan lingkungan hidup (environmental crime).
Contoh kasus yang
melibatkan korporasi dalam kejahatan lingkungan hidup sangat banyak di negeri
ini, salah satunya adalah kasus lumpur panas Lapindo yang menyembur pertama
kali di desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur pada hari
Senin 29 Mei 2006 sekitar pukul 06.00. Titik semburan terletak sekitar 100
meter arah barat Sumur Banjar Panji 1 milik PT Lapindo Brantas.
Enam
tahun sudah lumpur Lapindo menghancurkan
desa-desa, di Kecamatan Porong. Dan selama enam tahun itulah korban luapan lumpur
Lapindo harus menanggung penderitaan dan hidup dengan tanpa kepastian tentang
nasib mereka. Bagaimana nasib warga ini, Lapindo dan pemerintah belum melakukan
apa-apa yang cukup berarti untuk menyelesaikan dampak sosial yang dialami oleh
korban lumpur lapindo tersebut.
Lapindo sebagai sebuah korporasi yang
bergerak dibidang pertambangan minyak dan gas telah secara nyata menimbulkan
penderitaan bagi masyarakat di Porong, Sidoarjo. Tetapi sampai sekarang Lapindo
tidak juga mampu disentuh oleh perangkat hukum yang ada di negeri ini,
merupakan suatu hal yang ironi bagi para korban dan akal sehat manusia.
Pertanggungjawaban korporasi lapindo hanya sebatas ganti rugi kepada para
korban sebesar 20% saja dimana kekurangannya sampai sekarang juga belum tuntas.
Perasaan tanpa
kejelasan dan kepastian nasib ini sudah dialami oleh warga semenjak mereka
merasa bahwa mereka akan diberikan ganti rugi atas semua kerugian yang mereka
derita. Pemerintah yang diharapkan mampu untuk bisa menfasilitasi korban dalam
menyelesaikan dampak social dengan kemudahan-kemudahan. dan Lapindo sebagai
penanggung jawab akan mengganti seluruh kerugian yang dialami oleh warga dengan
semaksimal mungkin, tetapi semua yang diharapkan warga itu tidak kunjung ada
kejelasan.
Pertanggungjawaban
pidana yang dibebankan kepada korporasi pertama kali dikembangkan di
negara-negara yang menganut Common Law System seperti Inggris dan Amerika
Serikat sebagai akibat dari revolusi industri yang dimulai di negara
tersebut. Ada beberapa teori
pertanggungjawaban pidana korporasi yang dijadikan dasar dapat dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Teori pertanggungjawaban pidana
korporasi tersebut antara lain, teori identifikasi (identification theory),
yaitu doktrin yang menyebutkan kesalahan dari anggota direksi atau organ perusahaan/korporasi
yang tidak menerima perintah dari tingkatan
yang lebih tinggi dalam perusahaan, dapat dibebankan kepada perusahaan/
korporasi. Teori pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yaitu doktrin yang menyebutkan bahwa korporasi
bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi
tanggungjawab korporasi. Teori pertanggungjawaban ketat (strict
liability)
yaitu prinsip pertanggungjawaban pidana tanpa harus mensyaratkan unsur
kesalahan pada si pelaku tindak pidana, yang sampai sekarang masih menganut
asas kesalahan.
Masyarakat porong
sebagai korban kejahatan korporasi cakupannya memang sangat luas, karena
meliputi semua aspek kehidupan, mulai dari hilangnya tempat berteduh, hilangnya
kesempatan kerja, social cultural dan juga historis masyarakat porong. sehingga
korban kejahatan korporasi perlu mendapat perhatian khusus dalam pencegahan dan
penanggulangan kejahatan korporasi dalam hal ini berupa pertanggungjawaban
pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi. Menjerat Lapindo sebagai
korporasi atas kejahatan yang dilakukannya melalui peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai pertangungjawaban korporasi adalah hal yang penting,
namun yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan perlindungan dan keadilan
kepada korban yang dirugikan oleh PT. Lapindo Brantas.
BAB
II
PERUMUSAN
MASALAH
Dari latar belakang
penulisan yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas
adalah:
1.
Bagaimanakah kebijakan formulasi
pertanggungjawaban pidana PT. Lapindo Brantas terhadap korban masyarakat porong dalam hukum positif Indonesia saat ini?
2.
Bagaimanakah kebijakan formulasi
pertanggungjawaban pidana PT. Lapindo Brantas terhadap korban masyarakat porong
di masa yang akan datang?
BAB
III
PEMBAHASAN
1.
KEBIJAKAN
FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PT.
LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN MASYARAKAT PORONG DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
Korporasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin
yang berarti hasil dari pekerjaan yang membadankan, dengan kata lain perkataan
badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia
sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam. Korporasi
erat kaitannya dengan bidang hukum perdata, sebab pengertian korporasi
merupakan terminology yang erat kaitannya dengan istilah badan hukum (rechtspersoon). Menurut Rudi prasetyo
korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum pidana
untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum
perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris
disebut legal entities atau corporation. Sedangkan
menurut Rochmat Soemitro korporasi adalah suatu badan yang dapat mempunyai
harta, hak, serta berkewajiban seperti seorang pribadi.
Tindak pidana korporasi adalah kejahatan yang
bersifat organisatoris yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan
dewan direksi, eksekutif dan manajer disatu sisi dan diantara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi lain.
Ada 3 sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana yaitu:
1.
Pengurus korporasi
sebagai pembuat, maka penguruslah harus bertanggung
jawab;
2.
Korporasi sebagai pembuat, maka
penguruslah yang bertanggung jawab;
3.
Korporasi sebagai
pembuat dan yang bertanggung jawab.
Berdasarkan hukum pidana di Indonesia pada saat ini,
pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi dapat dibebankan kepada:
1.
Korporasi itu sendiri;
2.
Organ/pengurus korporasi yang melakukan
perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai
pemimpin dalam melakukan tindak pidana;
3.
Pengurus korporasi sebagai pemberi
perintah.
KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam arti belum mengenal korporasi sebagai subjek tindak
pidana, namun beberapa undang-undang khusus di luar KUHP telah mengenal
korporasi sebagai subjek tindak pidana selain orang. KUHP yang ada sekarang ini
tidak menganut atau mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana, namun
perkembangan hukum di luar KUHP berupa undang-undang tindak pidana khusus telah
menganut prinsip korporasi sebagai subjek tindak pidana. Perkembangan tersebut
juga berpengaruh terhadap perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam hal kejahatan korporasi. Hal ini
tentu saja membawa konsekuensi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana
korporasi terhadap korban kejahatan korporasi.
Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi
terhadap korban kejahatan korporasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan
pidana Indonesia dapat ditemukan antara lain pada : Undang-Undang No. 7/Drt. 1955 tentang Tindak
Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang
No. 6 Tahun 1984 tentang Pos, Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004,
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang
No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001,
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.
Tindak
pidana korporasi di Indonesia tentang lingkungan hidup, diatur dalam pasal 116 sampai dengan 119 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Dalam Pasal 119, diatur
ancaman hukuman kepada korporasi dikenakan
pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha
dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa
hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling
lama 3 (tiga) tahun.
Sedangkan untuk pemimpin dan pemberi perintah
dalam korporasi juga diancam hukuman penjara
dan atau denda. Hal ini dikarenakan pengurus korporasi adalah individu yang
mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Oleh sebab itu
selain menikmati kedudukan sosial, harus diiringi dengan tanggungjawab. Dalam Pasal 116, yang dapat dikenakan pertanggungjawaban
korporasi tidak hanya badan hukum/korporasinya
saja akan tetapi juga para pengurusnya. Sementara dalam Pasal 117 diatur tentang pemberi
perintah atau pemimpin ancaman pidana yang dijatuhkan berupa penjara dan denda
ditambah sepertiga.
Kejahatan korporasi ditinjau dari bentuk dan subyek
dan motifnya, dapat dikategorikan dalam White
Collar Crime. Suratno dalam Millar ( White
Collar Crime, 2005) menyatakan bahwa kejahatan korporasi terbagi
dalam 4 kategori yaitu:
1.
Kejahatan perusahaan (corporate crime) yang pelakunya adalah kalangan eksekutif, dengan melakukan
kejahatan demi keuntungan atau kepentingan korporasi.
2.
Kejahatan yang
pelakunya adalah para pejabat atau birokrat,
melakukan kejahatan untuk kepentingan dan atas persetujuan atau
perintah negara atau pemerintah.
3. Kejahatan malpraktek, yang pelakunya adalah kalangan profesional
seperti dokter, psikater, ahli hukum, pialang, akuntan,
penilai (adjuster) dan berbagai
profesi lainnya yang memiliki kode etik profesi, melakukan kesalahan
professional dengan sengaja, dikategorikan sebagai professional occupational crime.
4.
Ditujukan kepada
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh
para pengusaha, pemilik modal atau orang-orang yang independent
lainnya, walaupun tidak tinggi sosial ekonominya, tetapi berjiwa petualang.
Belum jelasnya pengaturan korporasi sebagai subyek
hukum pidana, menyebabkan proses penegakan hukum yang menyangkut korporasi
sebagai pelakunya dalam praktik sulit sekali ditemukan. Bahkan dalam beberapa
putusan pengadilan yang seharusnya korporasi dapat dituntut, tetapi dalam
putusannya yang dituntut dan dipidana hanya pengurus dari korporasi tersebut.
Apapun jenis kejahatan yang dilakukan, korbanlah
yang selalu menderita kerugian akibat kejahatan yang terjadi. Korban juga terus
berkembang seiring dengan perkembangan kejahatan. Demikian pula kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi PT. Lapindo Brantas yang menimbulkan korban masyarakat Porong sebagai
korban kejahatan korporasi yang menderita kerugian. Dalam hal ini masyarakat
porong lah yang menderita kerugian baik fisik, mental dan psikis. Sehingga
seharusnya Lapindo berdasarkan peraturan yang tersebar di luar KUHP bisa
digunakan untuk menjerat pemilik dan penanggungjawab PT. Lapindo Brantas.
Tetapi faktanya sampai saat ini PT. Lapindo Brantas
masih bisa beroperasi, sementara direksi ataupun pemilik dari korporasi ini
tidak ada satupun yang menjalani proses pidana. Yang lebih tragis adalah
anggaran negara digunakan untuk penanggulangan bencana lumpur yang diakibatkan
oleh PT. Lapindo yang saat ini sudah mencapai angka Rp 7 Triliun.
2. KEBIJAKAN
FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PT.
LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN MASYARAKAT PORONG DI MASA YANG AKAN DATANG.
Beberapa pendekatan dalam hukum pidana harus
berorientasi pada kebijakan, berorientasi pada nilai, dan pendekatan yang
bersifat humanistik. Berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN
dinyatakan, “…memperbarui perundang-undangan warisan colonial dan hukum
nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”
KUHP yang
sekarang kita gunakan adalah warisan penjajah Belanda yang tidak mengatur
korporasi sebagai subjek tindak pidana. Sehingga diperlukan reformulasi
kebijakan legislasi dalam menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana
dalam KUHP yang dicita-citakan sebagai ius
constituendem.
Formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi tentu
saja tidak cukup hanya dengan menyebutkan korporasi sebagai subjek tindak
pidana saja, melainkan juga harus menentukan
aturan mengenai sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga diperlukan
sebuah upaya reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap
korban kejahatan korporasi di masa yang akan datang, terutama dalam hal ini
adalah PT. Lapindo Brantas. Karena jika hal ini tidak ditangani secara tuntas,
bisa menjadi preseden buruk dalam sejarah
penegakan hukum di Indonesia.
Dalam konsep KUHP 2000, ketentuan mengenai korporasi
diatur dalam pasal 44 sampai dengan Pasal 49. Dari perumusan konsep tersebut,
terlihat pokok-pokok kebijakan yang diatur sebagai berikut:
1.
Penegasan korporasi sebagai subjek
tindak pidana (Pasal 44).
2.
Penentuan siapa yang dapat
bertanggungjawab (Pasal 45).
3.
Penentuan kapan korporasi dapat
dipertanggungjawabkan (Pasal 46).
4.
Penentuan kapan pengurus dapat
dipertanggungjawabkan (Pasal 47).
5.
Penentuan pidana sebagai ultimum remedium bagi korporasi (Pasal
48).
6.
Penentuan alasan pembenar dan pemaaf
bagi korporasi (Pasal 49).
Reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban
pidana terhadap korban kejahatan korporasi antara lain meliputi ketentuan
mengenai :
1. Ketentuan
mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi;
2. Siapa yang
dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan
korporasi;
3. Jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek
tindak pidana berupa korporasi yang berorientasi pada pemberian ganti kerugian
kepada korban.
Reorientasi dan reformulasi dalam kebijakan
legislasi terhadap system pertanggungjawaban pidana korporasi, mencakup
beberapa hal, yaitu:
1.
Perlu dilakukan pengkajian ulang tentang
penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana secara umum dan dimasukkan ke
dalam KUHP yang akan datang. Hal ini sudah tertampung dalam konsep KUHP
2004-2005, ius constituendum. Karena selama ini kebijakan legislasi tentang
penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana
tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus.
2.
Mengenai penggunaan istilah “korporasi”,
hendaknya digunakan secara konsisten. Sedangkan, selama ini penggunaan istilah
korporasi digunakan istilah yang bermacam-macam dan tidak seragam. Maka, untuk
masa yang akan datang, dalam melakukan kebijakan legislasi seyogyanya digunakan
istilah korporasi.
3.
Perlu dilakukan reformulasi tentang pola
aturan pemidanaan untuk pemidanaan korporasi sehingga seragam dan konsisten.
Formulasi mengenai ketentuan tersebut harus diatur
secara tegas untuk meminimalisir kemungkinan Lapindo melepaskan diri dari
tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya karena telah menyengsarakan
masyarakat porong. Mustahil memberikan pemenuhan ganti kerugian yang diderita
oleh korban lumpur Lapindo, apabila Lapindo yang dimaksud tidak dapat dijerat,
dituntut, dan dijatuhi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
ada.
Selama ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa
penegakan hukum di Indonesia memang masih jauh dari yang diharapkan, termasuk
penegakan hukum bidang lingkungan hidup dengan menggunakan sarana hukum pidana.
Ruwet dan rumitnya penyelesaian perkara tindak pidana lingkungan hidup (TPLH)
yang dilakukan oleh korporasi PT. Lapindo melalui proses peradilan telah banyak
dikemukakan dan dibahas oleh para pakar. Hal tersebut pada dasarnya tidak
terlepas dari sistem administrasi dan manajemen yang terdapat di dalam lembaga
peradilan.
Rumitnya penanganan perkara TPLH, bukan hanya
kesulitan-kesulitan yang dihadapi para aparat penegak hukum seperti pembuktian
dan sebagainya, tetapi juga karena banyaknya lembaga yang terlibat dalam
penanganan kasus TPLH. Untuk sampai ke Pengadilan, kasus lumpur yang mengubur tempat tinggal masyarakat
orong harus melalui berbagai lembaga-lembaga yang berwenang menangani masalah
lingkungan hidup. Koordinasi terpadu antar lembaga-lembaga yang bersangkutan
dan lembaga penegak hukum selama ini masih jauh dari harapan.
Kesulitan mencari alat bukti dan kesulitan mencari
saksi ahli yang “independen” merupakan
sebagian alasan, sebagaimana dengan proses penyidikan proses penyidikan TPLH
pada umumnya. Disamping itu persidangannya sendiri juga memakan waktu yang
panjang dan lama, sehingga dapat dipastikan kerusakan lingkungan yang terjadi
semakin parah dan masyarakat porong yang menjadi korban semakin menderita.
Perlindungan lingkungan hidup yang menjadi tujuan penegakan hukum menjadi
semakin jauh dari harapan.
Proses panjang dan rumitnya penyelesaian perkara
TPLH melalui sistem peradilan pidana, tidak terlepas dari kebijakan menerapkan
asas ultimum remidium dalam penegakan
hukum lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalan UUPLH. Dengan menerapkan asas
ini, penegakan hukum lingkungan dengan menggunakan sarana hukum pidana,
bukanlah menjadi prioritas. Sistem peradilan pidana baru bekerja untuk
melakukan penegakan hukum lingkungan, setelah penegakan hukum lingkungan dengan
sarana hukum administrasi tidak berhasil.
Mendahulukan penggunaan sarana hukum pidana dalam
penegakan hukum lingkungan sejalan dengan apa yang disarankan oleh Muladi yang
menghendaki penegakan hukum lingkungan dengan sarana hukum pidana lebih
dikedepankan karena tindak pidana lingkungan hidup termasuk white collar crime. Dalam kerangka itu
pula demi kepentingan nasional hukum pidana harus digunakan secara komplementer
dengan hukum perdata dan hukum administrasi sebagai obat utama (primum remidium).
Sudah saatnya asas ultimum remidium sebagai sarana penggunaan hukum pidana dalam
penegakan hukum pidana ditinggalkan, dan diganti dengan asas primum remidium. Artinya penggunaan
hukum pidana dalam penegakan hukum pidana didahulukan atau tidak perlu menunggu
penegakan hukum administrasi. Dengan asas primum
remidium, kasus kejahatan lingkungan yang terjadi dapat segera diselesaikan
penegakannya dengan menggunakan sarana hukum pidana.
BAB
IV
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Kebijakan
formulasi mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban
kejahatan korporasi yang ada atau berlaku saat ini belum dapat mewujudkan
pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut. Meskipun terdapat sanksi yang
dapat dikenakan terhadap korporasi dan direksi, tetapi sebagian besar ketentuan
tersebut hanya memberikan perlindungan kepada korban potensial dan bukan
pertanggungjawaban terhadap korban aktual atau nyata. Dengan kata lain,
kebijakan formulasi yang ada saat ini belum mampu menjerat dan menjatuhkan
sanksi pidana kepada korporasi yang melakukan kejahatan terhadap lingkungan,
terutama sanksi pidana yang berorientasi pada pemenuhan atau pemulihan hak-hak
korban berupa pembayaran ganti kerugian setelah terjadinya kejahatan. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam formulasi pertanggungjawaban pidana
korporasi terhadap korban kejahatan korporasi, antara lain berupa : tidak
adanya keseragaman dalam menentukan kapan
suatu korporasi dapat dikatakan
melakukan tindak pidana, ketidakseragaman dalam pengaturan mengenai siapa yang dapat dipertangunggjawabkan
atau dituntut dan dijatuhi pidana, serta
formulasi jenis pidana yang dapat dikenakan kepada korporasi yang
melakukan tindak pidana.
2. Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap
korporasi di masa yang akan datang
diharapkan lebih seragam dan konsisten dalam hal penentuan kapan suatu tindak pidana dikatakan sebagai
tindak pidana yang dilakukan korporasi, asas ultimum remidium sebagai sarana hukum sudah tidak layak sehingga harus diganti dengan primum remidium, serta jenis-jenis
sanksi apa yang sesuai untuk korporasi yang melakukan kejahatan, terutama dalam
rangka memberikan pemenuhan dan
pemulihan hak-hak korban atas kejahatan yang dilakukan korporasi, serta dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
kejahatan korporasi itu sendiri.
SARAN
1.
Pemerintah harus lebih tegas dalam
menindak PT. Lapindo Brantas dalam hal ini aparat penegak hukum untuk menyeret
orang-orang yang terlibat dan menjadi penyebab terjadinya bencana lumpur
Lapindo dan mendesak agar segera menyelesaikan persoalan ganti rugi masyarakat
korban lumpur Lapindo
2.
Dimasa yang akan datang jika terjadi hal
seperti, pemerintah lebih cepat dalam merespon dalam pertanggungjawaban pidana
sebuah korporasi, sehingga tidak terjadi lagi korban-korban akibat ulah
korporasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Nawawi Arief,
Barda, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010
Nirmala
Sari, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Disertasi, Undip, Semarang, 2010