Halaman

Jumat, 17 Juni 2011

DERADIKALISASI PELAKU TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA POLITIK

Istilah terorisme mulai dikenal luas oleh bangsa ini sejak Amrozi dkk meledakkan Paddy’s Café dan Sari Club di Bali tahun 2002. Ternyata terorisme sampai sekarang masih menjadi persoalan serius bagi bangsa ini. Bukannya selesai, terorisme justru mengalami perkembangan pesat beberapa waktu terakhir. Hal ini terlihat dari penggunaan modus baru oleh kelompok teroris mutakhir, seperti bom buku yang menghebohkan Jakarta dan menjadikan masjid sebagai target aksi seperti terjadi di Cirebon. Bahkan, kelompok teroris juga menjajaki kemungkinan penyerangan terbuka seperti menggunakan roket bom untuk menjangkau sasaran dari jarak yang jauh.
Kondisi di atas menimbulkan pertanyaan besar mengingat aparat kepolisian sejauh ini telah melakukan banyak hal untuk menumpas jaringan terorisme di republik ini. Bahkan, prestasi kepolisian melawan para teroris telah mendapatkan banyak apresiasi dari negara luar. Tetapi, terorisme masih bertahan bahkan berkembang pesat. Kasus terakhir yang cukup menguji kemampuan aparat penegak hukum khususnya Densus 88 adalah kasus penembakan yang menewaskan dua anggota kepolisian yang terjadi di Poso.

Hal ini tidak bisa dilepas dari peran ”keluarga besar” terorisme. Keluarga besar inilah yang selama ini melindungi dan menjadikan terorisme terus berkembang subur mengikuti pola regenerasi mati satu tumbuh seribu. Setidaknya ada tiga kelompok yang menjadi keluarga besar terorisme selama ini. Pertama, kelompok masyarakat yang hampir identik dengan anarkisme. Kedua, kelompok agamisme secara politik yang anti terhadap Pancasila. Ketiga, kelompok politik pragmatis.
Laporan akhir tahun 2010 yang dikeluarkan Moderate Muslim Society (MMS) menunjukkan bahwa kelompok masyarakat adalah pihak yang paling sering melakukan kekerasan dan intoleransi. Dari 81 kasus intoleransi yang terjadi sepanjang tahun 2010, 33 di antaranya dilakukan oleh kelompok masyarakat.
Temuan MMS di atas tidak jauh berbeda dengan temuan kepolisian. Dalam rapat gabungan Komisi II, III, dan VIII DPR, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri melansir data aksi kekerasan yang semakin menanjak tajam. Dari 10 aksi kekerasan pada tahun 2007 dan 8 aksi kekerasan pada 2008 menjadi 40 aksi kekerasan pada tahun 2009 dan 49 aksi kekerasan pada 2010. Kapolri berpandangan, ormas-ormas yang bermasalah dan melakukan kekerasan seharusnya dibekukan.
Dari segi level, anarkisme oleh kelompok masyarakat radikal berada persis di bawah terorisme. Bila terorisme acap melakukan pembunuhan massal dan tidak pilah-pilih korban, anarkisme tidak sampai membunuh secara massal dan korbannya lebih terfokus pada kelompok tertentu. Para pelaku anarkis pun berada persis di bawah para teroris. Bila teroris menjalankan aksi berdarahnya atas nama ajaran peran dan mati syahid, kaum anarkis menjalankan aksinya atas nama dakwah dan amar-makruf nahi-mungkar. Bila para teroris bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain, para pelaku anarkis justru selama ini dibiarkan bebas menyebarkan ajaran-ajaran kekerasannya.
Sehingga muncul pertanyaan Bagaimana cara deradikalisai terorisme agar efektif? juga Bagaimana kebijakan politik hukum pidana dalam melihat terorisme?

Deradikalisasi Terorisme
Penegasan perlunya upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan oleh pemerintah harus mampu menyentuh persoalan dasar penyebab terjadinya terorisme. Antara lain adalah ketimpangan ekonomi alias kemiskinan yang oleh sebagian kalangan banyak dijadikan kambing hitam mengapa terorisme tumbuh subur dan tidak pernah kehabisan stock.
Program deradikalisasi bagi pelaku terorisme perlu dibuat secara komprehensif dan serius oleh pemerintah melalui berbagai instansi terkait. Upaya pemberantasan tindak pidana terorisme tidak cukup hanya dilakukan dengan operesi penindakan oleh Densus 88 antiteror polri. Instansi terkait dalam hal ini adalah Kementerian Keagamaan, psikolog, psikiater, Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi harus bekerja sama dalam pemberantasan terorisme. Pemberantasan terorisme harus dilakukan sampai ke akar-akarnya dan harus pastikan tidak ada yang tertinggal
Bimbingan psikologis dari psiokolog dan psikiater mutlak dibutuhkan agar bisa diketahui penyebabnya, juga upaya-upaya penyadaran pemahaman mengenai agama yang benar dari tokoh agama melalui Kementerian Keagamaan. Selain itu juga harus dipikirkan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat agar mereka tidak tertarik untuk bergabung dengan kelompok terorisme serta melakukan tindak pidana terorisme karena mereka telah mempunyai pekerjaan yang mapan.
Walaupun begitu, aspek penghukuman terhadap para pelaku terorisme ini memang harus tetap dilakukan karena hal ini cukup penting untuk memberi penyadaran bagi pelaku terorisme serta memberi efek jera. Professor Sudarto mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence planning, dan ini pun harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.
Aspek-aspek sosial merupakan faktor penyebab paling penting terjadinyatindak pidana terorisme sehingga strategi penanggulangan terorisme harus diberikan prioritas paling utama. Terdapat beberapa faktor kondusif yang diduga menjadi penyebab terjadinya tindak pidana terorisme antara lain kemiskinan, pengangguran, mengendurnya ikatan sosial dan keluarga, pemahaman agama yang keliru karena rendahnya pengetahuan, serta dorongan ide dan sikap yang mengarah pada tindakan anarkisme yang diakibatkan oleh media. Faktor-faktor diatas memang harus disikapi oleh pemerintah secara serius terutama yang dibutuhkan adalah ketegasan dan jiwa kepemimpinan dari pemerintah agar tindak kekerasan tidak terjadi lagi.
Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga juga harus disikapi secara bijak oleh pemerintah, Keluarga sebagai faktor penting untuk dipenetrasi agar oknum terorisme kekurangan suplai pasukannya. Karena benteng terdepan ada di keluarga. Kalau membuat program pendidikan di sekolah seperti memompa ban kosong. Orang tua harus dipenetrasi, dididik dan diberikan materi karena mereka yang pertama melihat munculnya ekstrimisme di anaknya,
Dalam program deradikalisasi terorisme, terdapat tiga kunci yang amat penting, yakni humanis, soul approach, dan menyentuh akar rumput. Humanis berarti upaya pemberantasan terorisme haruslah sesuai dengan upaya penegakan hak asasi manusia. Selain itu, pemberantasan terorisme, harus mampu menciptakan kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan bagi seluruh masyarakat, bagi para tersangka, ataupun terpidana terorisme. "Soul approach artinya pemberantasan terorisme dilakukan melalui suatu komunikasi yang baik dan mendidik antara aparat penegak hukum dan para tersangka ataupun narapidana terorisme, bukan dengan cara-cara kekerasan dan intimidasi. Sementara itu, kunci terakhir, menyentuh akar rumput, adalah suatu program yang tidak hanya ditujukan kepada para tersangka ataupun terpidana terorisme, tetapi program ini juga, diarahkan kepada simpatisan dan anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal. Serta menanamkan multikulturalisme kepada masyarakat luas.

Kebijakan Politik Hukum Pidana Dalam Melihat Terorisme
Kebijakan strategis dalam penanggulangan tindak pidana terorisme terletak pada kebijakan yang integral dalam menanggulangi faktor-faktor penyebab. Inilah yang menurut Prof. Barda tidak dipenuhi oleh kebijakan penal dalam menanggulangi kejahatan, karena kebijakan penal lebih merupakan kebijakan yang parsial dan represif, walaupun kebijakan penal bersifat represif sebenarnya juga mengandung unsure preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik/ kejahatan politik diharapkan ada efek pencegahan/ penangkalnya.
Dikalangan publik dan kalangan ilmiah pun masih belum ada kesamaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan politik, dan apa yang menjadi ruang lingkupnya . Belum adanya kesamaan pendapat itu wajar, karena orang dapat, memberikan arti dan muatan bermacam-macam terhadap kejahatan politik, antara lain sebagai berikut:
 Kejahatan terhadap negara/ keamanan negara;
 Kejahatan terhadap sistem kekuasaan;
 Kejahatan terhadap nilai-nilai dasar/ hak-hak dasar (HAM) dalam bermasyarakat/ bernegara/ berpolitik;
 Kejahatan yang mengandung unsur politik/ motif politik;
 Kejahatan dalam meraih/ mempertahankan/ menjatuhkan kekuasaan;
 Kejahatan terhadap lembaga-lembaga politik;
 Kejahatan oleh negara/ penguasa/ politisi;
 Kejahatan penyalahgunaan kekuasaan.
Bahkan ada pendapat, bahwa semua kejahatan dalam pengertian yang sangat luas adalah kejahatan politik seperti yang disebut oleh Stephen Schafer dimana dari berbagai pengertian diatas didapat secara garis besar kejahatan politik dapat dikelompokkan dalam dua hal yaitu:
a. Kejahatan oleh pemegang kekuasaan, dan
b. Kejahatan terhadap sistem kekuasaan.
Dimana tindak pidana terorisme adalah kejahatan terhadap sistem kekuasaan yang antara lain tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana terhadap kepala negara dan sebagainya. Ruang lingkup perlindungan terhadap negara dalam KUHP saat ini ada dalam Pasal 104 s/d Pasal 129 meliputi antara lain: (1) maker terhadap presiden dan wakil presiden; (2) makar terhadap wilayah negara; (3) maker untuk menggulingkan pemerintahan; (4) pemberontakan. Dari ruang lingkup diatas terlihat, bahwa menurut KUHP saat ini, perlindungan terhadap negara dimanifestasikandalam bentuk terhadap “kepentingan/ benda hukum”

Kebijakan penal masih tetap harus diberikan kepada pelaku terorisme sebagai pemberi efek jera, agar calon pelaku terorisme berpikir ulang untuk melakukan tindakan terorisme.
Penanganan masalah terorisme begitu kompleks sehingga memerlukan keterlibatan dan peran serta dari berbagai disiplin ilmu seperti polri, psikolog, psikiater, kementerian keagamaan, dan kementerian tenaga kerja dan transmigrasi.

Pemerintah harus melakukan upaya preventif secara komprehensif dalam mengatasi faktor penyebab timdak pidana terorisme seperti mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan sebagainya
Terorisme sebagai tindak pidana kejahatan harus diberikan perhatian yang ekstra baik kepada pelaku ataupun keluarga terorisme. Memberantas terorisme harus dilakukan juga dengan membubarkan keluarga besarnya. Hingga tak ada lagi tempat bagi mereka untuk bersembunyi, berlindung, dan menyusun kekuatan baru.

DAFTAR PUSTAKA
Nawawi Arief, Barda, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kebijakan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008
Nawawi Arief, Barda, Bungai Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010
http://edukasi.kompas.com
http://oase.kompas.com
http://kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar