Halaman

Kamis, 24 Februari 2011

PELANGGARAN TINDAK PIDANA PEMILU

Dalam pemilu legislatif 2009, ketua PNI Marhaenisme Sukmawati Soekarno Putri menjadi tersangka dalam kasus dugaan ijasah palsu ijasah SMA yang digunakannya untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif di KPU ditengarai palsu. Kasus ini oleh KPU telah dilaporkan kepada pihak kepolisian, tetapi sampai sekarang kasusnya tidak jelas kelanjutannya. Apa yang menjadi masalah, sehingga kasus yang melibatkan petinggi partai politik itu tidak berlanjut sampai ke pengadilan? Apakah kasusnya dipetieskan karena kepentingan politik semata yang menjadi dasar?
Kasus yang melibatkan Sukmawati bukan hanya dalam rangka pertarungan penegakan hukum saja tetapi juga pertarungan yang melibatkan kepentingan politik. Penyidik kepolisian secara mental belum siap menerima dan menangani tindak pidana pemilu, walaupun sebenarnya penghentian penyidikan merupakan hal yang wajar dalam proses beracara. Penyidik mempunyai tiga alasan untuk dapat menghentikan penyidikan, pertama, karena tidak terdapat cukup bukti. Kedua, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana. Ketiga, penyidikan dihentikan demi hukum.

Sebenarnya penghentian kasus ini merupakan hal yang tidak mengejutkan karena sejak awal telah bisa diprediksi, karena  telah belajar dari kasus pemilu 2004. Ada dua faktor yang mendominasi rendahnya pelanggaran pemilu. Pertama, adanya keputusan diskresi dari kepolisian atau jaksa untuk tidak menindaklanjuti laporan karena tersangka telah dicoret dari daftar calon tetap (DCT). Kedua, bukti pelanggaran tidak cukup untuk dilakukan penuntutan. Tantangan penegakan hukum sejak awal telah diperingatkan bahwa penanganan pelanggaran pemilu semakin rumit.
Koordinasi antar instansi memang tidak mudah menangani pelanggaran pidana pemilu, persoalannya begitu kompleks karena melibatkan kepentingan politik. Penegakan hukum terhadap tindak pidana pemilu memang telah diprediksi sejak awal akan dikebiri. Law in Action harus menjadi prioritas perhitungan berjalannya aturan yang mereka buat, jika tidak hukum hanya akan menjadi bahan bacaan wajib aparat penegak hukum, itu semua karena aturannya begitu sulit untuk diimplementasikan.
Terkait dengan kasus ini ada dua teori hukum yang bisa dikaitkan yaitu yang pertama teorinya Durkheim dimana hukum yang dipakai oleh masyarakat berpadanan dengan type solidaritas masyarakat disitu. Solidaritas ada dua macam yaitu, solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik mensyaratkan adanya satu ikatan yang bersifat mekanis antara para warga masyarakat. Solidaritas ini menjadi landasan  kehidupan bersama. Tanpa ikatan seperti itu kehidupan bersama tidak ada, karena yang asli adalah individu. Oleh karena itu, hukum yang dipakai berfungsi menjaga dan mempertahankan kualitas hubungan yang bersifat mekanis tersebut.
Sedangkan solidaritas organik memberikan kelonggaran kepada masing-masing anggota masyarakat untuk menjalin hubungan satu sama lain, tanpa adanya campur tangan. Kehidupan bersama akan terbina dengan memberikan kebebasan pada para anggota untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan orang lain.
Yang juga cukup relevan diungkap adalah teori Donald Black yaitu teori perilaku hukum (Behaviour of Law).
Beberapa proposisi yang dibangun oleh Black berdasarkan pengamatan dan kuantifikasi data empirik yaitu:
  1. Hukum akan lebih beraksi apabila seseorang dengan status tinggi memperkarakan orang lain dari status lebih rendah, daripada sebaliknya.
  2. Hukum berbeda menurut jarak sosial.
  3. Penahanan oleh polisi ditentukan oleh ras tersangka, berat ringannya kejadian, barang bukti yang didapat, sikap terhadap polisi, dll.
  4. jumlah peraturan bagi golongan dengan status lebih tinggi lebih besar daripada golongan lebih rendah. 
Sehingga jika kita melihat kasus dugaan ijasah palsu yang melibatkan Sukmawati selaku ketua PNI Marhaenisme maka kepolisian akan menjadi tidak berdaya karena proposisi yang diajukan oleh Donald Black.        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar