Halaman

Kamis, 28 Oktober 2010

PERSPEKTIF ANALITIS KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

 Tindak Pidana Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, karenanya untuk penanganannya juga harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Perdebatan tentang korupsi sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) atau kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) sempat menjadi perdebatan hangat dalam persada politik dan hukum di Indonesia.
Secara akademik perdebatan semacam itu adalah suatu hal yang wajar, sepanjang memiliki dasar argumentasi yang logis, ilmiah,dan -yang paling penting lagi- konsisten. Dengan perkataan lain, dalam keadaan dan kapasitas apa pun pendapat tetap harus dipertahankan, kecuali menemukan argumentasi sebaliknya yang lebih kuat. Aneh jika perubahan itu hanya disesuaikan dengan kepentingan tertentu semata, bukan atas kerangka dan konstruksi berpikir yang ilmiah.
Secara yuridis, politik hukum (legal policy) pemberantasan korupsi telah menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Tap MPR No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme mengatakan antara lain bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsideran UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggolongkan korupsi sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (penekanannya pada hukum acara). Alasannya korupsi terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara,tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas.
Adapun UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bagian penjelasan umum menyebutkan korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.Karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa,melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Upaya pemberantasannya pun tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa (penekanannya pada hukum materiil dan hukum formal). Salah satu upaya pemberantasannya ditetapkan melalui pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Politik hukum tersebut dituangkan dalam Pasal 53 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Yang menjadi persoalan adalah perlindungan terhadap orang yang membuka kasus ini (wistle blower). Kejahatan ini biasanya terorganisasi, terencana, penuh perhitungan, dan sering terkesan legal. Sehingga ketika sebuah kasus korupsi diungkap oleh seseorang dimana orang tersebut adalah bagian atau pernah menjadi bagian dari kejahatan korupsi tersebut, maka orang terebut harus mendapat perlindungan hukum.
Meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang melindungi pelapor, ada perbedaan pengertian antara pelapor di Indonesia dan whistleblower. Seseorang hanya dapat disebut pelapor apabila telah menyampaikan laporan kepada aparat penegak hukum atau komisi. Adapun mereka yang mengungkapkan informasi kepada publik—bukan kepada aparat penegak hukum—tidak disebut pelapor, dan peraturan di atas tidak melindungi mereka.
Perlindungan lengkap hanya diberikan kepada pelapor tindak pidana korupsi dan/atau pencucian uang, sedangkan untuk tindak pidana lainnya diatur di Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban berupa perlindungan terbatas, yaitu proteksi hukum semata.
Artinya tidak dituntut secara pidana ataupun perdata atas laporan yang disampaikan dengan iktikad baik. Bahkan, pelapor yang laporannya tidak masuk kategori pidana, tidak mendapat perlindungan.
Ini berbeda dengan pelapor tindak pidana korupsi dan tindak pidana money laundering yang berhak mendapat jaminan keamanan, mengganti identitas, evakuasi, serta perlindunganhukum. Perlindungan hukum mencakup hak untuk tidak dituntut secara pidana atau perdata (imunitas) dan menuntut kerugian apabila ada pihak-pihak, dalam hal ini termasuk aparat penegak hukum, membocorkan identitas mereka sebagai pelapor.
Untuk tindak pidana korupsi dan money laundring, menurut UU Tipikor dan UU KPK serta UU TPPU dan Peraturan Pelaksananya, perlindungan pelapor dilakukan oleh KPK, PPATK bersama dengan kepolisian serta aparat penegak hukum lainnya. Namun, sejak ada UU No 13 Tahun 2006, pelapor sekaligus saksi dan/atau korban dapat meminta perlindungan LPSK.
Peraturan perlindungan pelapor yang tersebar dan dengan mekanisme yang berbeda-beda itu sangat membingungkan dan menyulitkan. Bahkan, dapat berimplikasi tidak berjalannya perlindungan terhadap pelapor. Karena itu, perlu dirumuskan mekanisme perlindungan yang lebih sederhana dan proaktif.
Untuk itu, parlemen bisa segera menyempurnakan UU No 13 Tahun 2006 sekaligus memperkuat kelembagaan dengan menjadikan sekretariat LPSK setingkat posisi eselon satu dan memberikan dasar hukum pembentukan organisasinya seperti struktur organisasi KPK sehingga pegawai LPSK tidak hanya berasal dari PNS, tetapi juga kalangan profesional.
Hal lain yang juga penting adalah para pelapor mendapat penghargaan. PP 71 Tahun 2000 telah menetapkan, penghargaan dapat diberikan dalam bentuk sertifikat, tanda jasa, ataupun uang. Namun, ini masih terkendala pedoman teknis pelaksanaan yang belum terbit.
Semoga kondisi saat ini dapat menjadi momentum untuk mewujudkan perlindungan pelapor, pemberantasan kejahatan, dan penegakan hukum untuk keadilan bersama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar