Halaman

Minggu, 17 Oktober 2010

MENYOAL LEGALITAS POSISI JAKSA AGUNG


Posisi nyaman Jaksa Agung Hendarman Supandji, tiba-tiba terusik ketika dinilai ilegal menduduki jabatannya. Persoalan tambah serius sebab yang mempertanyakan ialah Yusril Ihza Mahendra, Guru Besar Hukum Tata Negara, mantan Menteri Hukum dan HAM, ataupun mantan Menteri Sekretaris Negara. Legalitas dan konstitusionalitas Jaksa Agung menurut UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan sudah jelas. Jaksa Agung adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jabatan ini ada dalam sistem ketatanegaraan sebagai turunan dari konsep pemisahan kekuasaan negara dan checks and balances di ranah kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan di bab IX UUD 1945.
            Yusril mempersoalkan keabsahan posisi Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung setelah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh penyidik Kejaksaan Agung dalam kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Yusril tak hanya keberatan ditetapkan sebagai tersangka, tetapi juga menyerang balik Hendarman yang diwujudkan dengan pengujian UU No 16/ 2004 tentang Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi terkait syarat dan prosedur pengangkatan ataupun pemberhentian Jaksa Agung. Kalau posisi Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung terbukti ”gadungan”, banyak kebijakan dan tindakannya terancam tak sah atau dapat dibatalkan. Kalau Jaksa Agung mengintervensi jaksa penyidik mengubah status Yusril bukan tersangka, berarti Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung ragu tentang legalitasnya menjabat Jaksa Agung.



            Menarik mengetahui asal-usul ”bintang Mercedes” menjadi satu simbol untuk tiga nomenklatur: Kejaksaan, jaksa, Jaksa Agung. Ketiganya terkait, tetapi memiliki pengertian berbeda. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 41 UU No 04 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi Kejaksaan bukan lembaga yudikatif dan jaksa bukan hakim. Kejaksaan yang dipimpin oleh Jaksa Agung jelas berada di dalam ”rezim” kekuasaan kehakiman. Praktik ketatanegaraan di sini menunjukkan bahwa kontrol kekuasaan dan keinginan kalangan Kejaksaan sering menempatkan Jaksa Agung sebagai menteri atau setingkat menteri.
Meski Jaksa Agung sering dimenterikan, Kejaksaan bukan kementerian. Kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara tak serta-merta menempatkannya sebagai anggota kabinet. Perekrutan dan pemberhentiannya tak dapat disamakan dengan anggota kabinet. Kedudukan Kejaksaan yang lain dari yang lain atau ”yang bukan-bukan” ini memungkinkan fungsi Kejaksaan meluas dan menciut. Maka, fungsi pokok Kejaksaan selaku lembaga pemerintahan: melaksanakan kekuasaan negara bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Pasal 2     UU No. 16 tahun 200 tentang Kejaksaan.

            Karena jaksa menjalankan fungsi penuntutan, atas nama prinsip negara hukum: fungsi itu harus dijalankan secara merdeka. Independensi Kejaksaan ini makin menguatkan kedudukannya di ranah kekuasaan kehakiman sehingga UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan menegaskan kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara (bukan sebagai menteri). Namun, disayangkan, independensi kelembagaan ini tak disertai penerapan independensi personal karena tanggung jawab fungsional perseorangan jaksa ditundukkan kepada hierarki atau garis komando yang dikemas dalam konsep sentralistik peninggalan bangsa Belanda tidak juga dirubah oleh pemerintah Indonesia, pemerintah masih merasa nyaman menggunakan konsep warisan penjajah tersebut. Padahal, UU Kejaksaan menegaskan jaksa sebagai jabatan fungsional pegawai negeri sipil di bidang Penuntutan. Penerapan konsep Jaksa Agung sebagai pejabat negara dan jaksa sebagai suatu jabatan fungsional PNS ini mewarnai perdebatan tentang legalitas Jaksa Agung Hendarman.
Ia diangkat sebagai Jaksa Agung bersamaan dengan kocok ulang Kabinet Indonesia Bersatu I pada 2007. Hendarman menggantikan Abdurrahman Saleh dari kalangan nonkarier Hendarman adalah jaksa karier meski Pasal 20 UU Kejaksaan 2004 tak mengharuskan Jaksa Agung dari kalangan jaksa karier ataupun rentang batas usia tertentu (Pasal 9 mengharuskan pengangkatan jaksa fungsional dalam rentang batas usia tertentu dan Pasal 12 menetapkan pensiun jaksa pada usia 62. Kedudukan Hendarman sebagai jaksa karier ini mengundang pendapat keliru sejumlah petinggi hukum bahwa ia harus berhenti sebagai Jaksa Agung di usia 62. Terlahir Januari 1947, Hendarman memang pensiun sebagai jaksa fungsional pada Januari 2009. Ternyata jabatan fungsionalnya sebagai PNS jaksa tidak (perlu) diperpanjang seperti Panglima TNI. Ia tetap menjabat Jaksa Agung, juga tak diberhentikan bersamaan pembubaran KIB-1 atau dilantik kembali bersama anggota KIB-2 pada Oktober 2009. Tak ada yang mempersoalkannya sampai Yusril menyerang balik Hendarman.

            Namun, proses pengujian UU di MK menjadi salah satu pilihan melancarkan jurus strategis atau taktis lawyering. Dalam keterangan tertulis yang diedarkan pihak Yusril ke wartawan, dia menyatakan, Jaksa Agung Hendarman Soepandji tak pernah diberhentikan dan dilantik kembali menyusul terpilihnya SBY sebagai presiden pada 2009 lalu. Semestinya, menurut Kepres no 31/P tahun 2007, Hendarman ikut diberhentikan dan dilantik kembali bersama-sama dengan kabinet yang baru.

            Namun, Hendarman tak pernah menjalani proses tersebut. Ia tetap menjabat sebagai Jaksa Agung tanpa dilantik. Sehingga segala tindakan hukum yang dilakukan dibawah Kejaksaan Agung, termasuk penetapan tersangka terhadap dirinya menjadi tidak sah. Di lain pihak, Jaksa Agung sudah menjelaskan perihal ini saat dimintai keterangan oleh Komisi III DPR beberapa waktu lalu. Ia hanya mengikuti instruksi Presiden. Status dirinya yang sejajar dengan menteri kabinet, adalah hak prerogatif Presiden. Hendarman menerangkan bahwa dirinya akan diberhentikan atau dilantik kembali bersamaan dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Panglima Tentara Nasional Indonesia, Oktober 2010.
       Seharusnya  pengangkatan dan pemberhentian pejabat tinggi ada Keppresnya. Tetapi tidak ada Keppres pemberhentian kembali (Jaksa agung), kemudian tidak ada pengangkatan kembali, berarti Presiden salah di situ. Dalam urusan masa jabatan Jaksa Agung, Indonesia hanya mengenal Tiga Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004. Dalam semua Undang-Undang itu, memang tidak dijelaskan batas masa jabatan jaksa agung. Tetapi dalam negara hukum, tidak bisa ditolerir jabatan yang tidak ada batasnya. Presiden saja dibatasi masa jabatannya, maka semestinya jabatan jaksa agung juga harus dibatasi 

TAMPARAN UNTUK PEMERINTAH

            Mahkamah Konstitusi (MK) mengakhiri polemik ketatanegaraan mengenai keabsahan masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji, setelah menyidangkan permohonan uji materi yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Keputusan MK memang menimbulkan ketidakpastian hukum, walaupun bisa segera diakhiri jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat dan menetapkan kembali Hendarman sebagai Jaksa Agung, kendati selanjutnya diganti.

            Langkah Yusril Ihza patut kita hargai sebagai pencerahan untuk memberi pembelajaran dalam praktik berhukum tata negara. Dengan caranya sendiri ia mengingatkan mengenai persoalan keabsahan, fatsun, prosedur, dan konsekuensi berhukum karena menyangkut legalitas produk-produknya. Substansi dari ”kritik” ala Yusril ini adalah bagaimana Sekretariat Negara, staf ahli Presiden di bidang hukum, serta otoritas-otoritas terkait selalu bersikap cermat terkait dengan masalah perundang-undangan dan penafsirannya. Memang a melihat latar belakang lain dari langkah mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu. Yusril bereaksi mempersoalkan legalitas Jaksa Agung ketika dia diperiksa dalam dugaan korupsi kasus Sistem Administrasi Bantuan Hukum (Sisminbakum). Artinya, ia berusaha bersikap defensif, setidak-tidaknya mengulur waktu. Namun dalam konteks mendudukkan asas-asas berhukum tata negara itu kita mencoba untuk menyikapi permohonan uji materinya sebagai sebuah pencerahan untuk mendudukkan perkara.

            Akan menjadi lebih bermakna, menurut kita, apabila Yusril yang selama ini dikenal sebagai ahli hukum pintar, menindaklanjuti pencerahannya itu dengan pembelajaran berikutnya. Ia tidak lagi menghindar dari pemeriksaan ketika keabsahan jabatan Jaksa Agung nanti sudah tidak bermasalah, sehingga tendensi pengajuan uji materinya ke MK tidak semata-mata dilihat sebagai upaya pengalihan opini. Dan, ia justru bakal dicatat sejarah telah memberi kontribusi besar dalam pembelajaran penegakan hukum. Pemahaman prosedur pengangkatan dan pemberhentian pejabat di sebuah institusi hukum, kiranya bisa tercerahkan oleh langkah Yusril dan keputusan MK tersebut. Kita menjadi makin memahami, masih ada kelemahan di dalam praktik-praktik kenegaraan akibat kekurangcermatan di dalam penafsiran peraturan perundang-undangan. Kita yakini hal itu bukan kesengajaan untuk mengabaikan legalitas, melainkan hanya suatu kecerobohan administratif. Namun tentu kita tidak boleh bersikap ”hanya”, terkait persoalan ini.

            Kita tidak akan mengulang polemik tentang keabsahan, lalu bagaimana seharusnya proses berikut posisi Hendarman Supandji atau penggantinya nanti. Kita lebih melihatnya sebagai realitas pelaksanaan hukum tata negara yang tercerobohi oleh sebuah ketidakcermatan. Kiranya, pihak-pihak terkait tidak perlu defensif meresponsnya, karena yang lebih penting adalah menyerapnya sebagai fakta telah terjadi kekeliruan, dan kini saatnya mendudukkan prosedur itu sebagai amanat undang-undang yang harus dilaksanakan.
             Perseteruan antara Yusril Ihza Mahendra dan Hendarman Supandji bisa dikatakan telah berakhir. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (22/9) memutuskan Hendarman tidak sah lagi sebagai Jaksa Agung sejak putusan itu dibacakan oleh Prof. Mahfud MD sebagai ketua Panel Hakim Konstitusi. Putusan MK kemudian ditindaklanjuti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengeluarkan keppres pemberhentian Hendarman dan penunjukan Wakil Jaksa Agung Darmono sebagai Plt Jaksa Agung. Di balik itu, pro-kontra seputar jabatan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung tidak hanya berhenti pada masalah tersebut. Polemik itu juga mengarah pada tudingan yang lebih menggegerkan. Terlontar tudingan dari Yusril seputar kasus Century yang diduga melibatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

            Selain itu, dari sisi kredibilitas, ucapan Yusril tidak dapat dinilai sebatas retorika politik semata. Namun, penegasannya harus diseret ke wilayah hukum untuk dibuktikan secara transparan dan bertanggung jawab. Kini Hendarman sudah diberhentikan oleh Presiden sebagai Jaksa Agung oleh Presiden per tanggal 24 September. Banyak harapan agar penggantinya adalah orang yang memiliki kredibilitas tinggi dalam menegakkan hukum. Untuk sementara Wakil Jaksa Agung Darmono menjadi Plt Jaksa Agung.
BELAJAR TERTIB ADMINISTRASI
 
            Pemberhentian Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menilai jabatan Jaksa Agung yang disandang Hendarman tidak sah, merupakan cerminan buruknya sistem administrasi negara di lingkungan Sekretariat Negara (Setneg). Sehingga Hendarman jelas merupakan korban sistem administrasi yang amburadul, dimana Presiden perlu segera melakukan reformasi di tubuh birokrasi, khususnya di Sekretariat negara. Masih teringat juga  korban lain akibat buruknya pengelolaan administrasi negara di Setneg adalah Anggito Abimanyu yang batal diangkat sebagai Wakil Menteri Keuangan kendati surat keputusan pengangkatannya sudah ada. Begitu juga Fahmi Idris yang batal diangkat sebagai Wakil Menteri Kesehatan serta Rosihan Arsjad yang urung ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Filipina.

            Kelalaian administrasi dalam periodisasi atau masa jabatan Jaksa Agung, yang kemudian dipersoalkan di MK, menjadi bukti ketidakcermatan birokrasi di lingkungan Setneg, jelas ini sangat mengganggu. Kalau tidak lalai, tidak mungkin Sekretariat negara dipermalukan oleh Mahkamah Konstitusi. Kita berharap Presiden konsisten menindak pembantunya yang tidak berkinerja bagus. Dan Presiden harus berani menggantinya. Dari kasus tidak sahnya jabatan Hendarman Supandji harus dijadikan pelajaran oleh Presiden SBY. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang masa tugas Jaksa harus dilihat sebagai sebuah teguran bagi Presiden agar di kemudian hari benar-benar memperhatikan masalah hukum administrasi Negara dan lebih teliti untuk menempatkan orang-orang yang kredibel sehingga tugas-tugas kenegaraan dan persoalan administrasi negara tidak akan menjadi ganjalan bagi Presiden dikemudian hari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar