Halaman

Selasa, 05 Oktober 2010

PENEGAKAN HUKUM DALAM KONTEKS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DAN KENDALANYA

Konflik terbuka, apalagi yang melibatkan massa dengan jumlah banyak dengan penggunaan kekerasan secara massif dan menyeluruh, tidak bisa serta merta terjadi. Harus terdapat prakondisi yang memungkinkan dan mencukupi bagi terjadinya konflik terbuka. Konflik terbuka yang terjadi secara massal dengan menggunakan simbol-simbol SARA harus ada provokator yang mengompori massa untuk tujuan dan kepentingannya, namun tindakan tersebut hanya efektif jika memang terdapat prakondisi yang memungkinkan dan mencukupi bagi terjadinya sebuah konflik.
Setiap kekerasan yang terjadi dalam masyarakat digolongkan sebagai kekerasan politik. Kekerasan politik terjadi karena muncul ketidaksesuaian antara keinginan/ harapan dengan kemampuan, atau karena terjadinya kesenjangan didalam masyarakat. Kemampuan untuk mencapai keinginan dirasakan ada, tetapi upaya mencapainya dihambat atau digagalkan.

Hal ini bisa dimengerti karena hambatan itu dirasakan adalah ketika dimasa Rezim Orde Baru sehingga masyarakat yang selama lebih dari tiga dasawarsa kemudian melakukan reformasi yang digulirkan untuk menggulingkan rezim Orde Baru.
Konflik terbuka yang terjadi di masyarakat yang dilakukan yang melibatkan massa dalam jumlah yang banyak kemudian sering disebut sebagai pelanggaran HAM.
Dalam tulisan ini penulis mencoba menganalisa dan mencari penyebab tidak berfungsinya pranata sosial dalam masyarakat dan perangkat Undang-undang sehingga terjadi konflik massa terbuka yang kemudian bisakah disebut telah terjadi pelanggaran HAM.

Dalam dekade terakhir ini, berbagai pelanggaran HAM di Indonesia semakin sering dan santer diperbincangkan banyak kalangan dalam berbagai kesempatan, baik didalam maupun luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran HAM bukan lagi persoalan domestik tetapi telah menjadi problem dan concern dari lembaga serta masyarakat internasional, dimana perburuan terhadap pelaku telah dilakukan berbagai pengadilan di banyak negara.
Pelanggaran HAM yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia adalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan atau yang dikenal dengan istilah Crime Against Humanity. Dalam sejarah perkembangan hukum Internasional, kejahatan tersebut juga merupakan bagian dari kejahatan Internasional (Romli Atmasasmita, 2002: 42).
Pemerintah Indonesia harus concern terhadap perkembanganmasalah-masalah Internasional, terutama masalah kejahatan terhadap kemanusiaan melalui pembentukan pengadilan HAM menjadi sangat urgen dan mendesak untuk direalisasikan, jika tidak ingin terkucil dan dikucilkan dalam pergaulan internasional.
Sebagai konsekuensi logis Indonesia meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM, maka pembuatan Undang-undang tentang HAM merupakan suatu bentuk penerapan politik kebijakan perundang-undangan atau kebijakan legislative. UU RI No 26 Tahun 2000, menunjukkan concern dan goodwill positif pemerintah untuk menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Berdasarkan UU tersebut, salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan HAM adalah mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu pelanggaran HAM. Tetapi sampai UU itu diterbitkan, para pelaku kejahatan HAM masih banyak yang belum tersentuh, padahal keluarga korban ini setiap tahun selalu memperingati dan mengingatkan pemerintah untuk mengusut dan menangkap pelaku, tetapi sampai presiden bergantipun para pelaku masih saja bebas.
Hal ini terjadi bisa saja karena pelaku adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan sehingga aparat hukum yang seharusnya menegakkan hukum malah menjadi abdi bagi para pelaku pelanggaran HAM.

Ketidakmampuan aparat penegak hukum melaksanakan amanat UU No 26 Tahun 2000 disebabkan posisi mereka yang "kalah" atau tidak setara dengan para pelaku kejahatan HAM. Para pelaku kejahatan HAM baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai koneksi kekuasaan, sehingga mereka bisa leluasa lolos dari upaya hukum dan tidak tersentuh sama sekali. Keterlibatan oknum aparat keamanan serta pencitraan tentang perannya yang tidak netral alias "berat sebelah" sudah menjadi isu dominan dimasyarakat.
Pemerinatah harus mampu bersikap tegas jika Indonesia tidak ingin dikucilkan oleh dunia Internasional karena membiarkan para pelaku kejahatan/ pelanggaran HAM bebas dari jeratan hukum. Amanat UU No 26 Tahun 2000 sudah sangat jelas, tinggal bagaimana keberanian pemerintah untuk membulatkan tekad untuk menangkap para pelaku pelanggaran HAM. Hal ini penting, disamping agar tidak terulang kejadian seperti pelanggaran HAM, pemerintah juga tidak dikucilkan dunia internasional karena berani menangkap dan mengadili para pelaku pelanggaran HAM.
Untuk tidak mengulangi kembali berbagai kesalahan masa lalu, yang telah menyumbang pada terciptanya kondisi yang memungkinkan dan mencukupi bagi terjadinya berbagai konflik dalam masyarakat, maka sejumlah langkah dan tindakan seperti tersebut diatas harus dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
John Pieris, tragedi Maluku "Sebuah Krisis Peradaban" Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004
Muladi, Hak Asasi Manusia, Refika Aditama, Bandung, 2007
(Makalah Sosiologi Hukum)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar