KEBIJAKAN
FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
PT.
LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN LUMPUR LAPINDO
BAB
I
PENDAHULUAN
Korporasi sebagai buah
dari kemajuan zaman telah banyak membawa manfaat bagi banyak orang di dunia. Tujuan
korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan
sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi baik itu berupa suatu
badan hukum maupun bukan memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan
aktvitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku, bahkan memunculkan korban yang menderita
kerugian. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hukum
sehingga tindakan korporasi yang bertentangan dengan hukum tersebut semakin
meluas dan sulit dikontrol. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti
kejahatannya terhadaap masyarakat termasuk juga mengintervensi para aparat
penegak hukum.
Contoh kasus yang
melibatkan korporasi sangat banyak dinegeri ini, salah satunya adalah kasus lumpur
panas Lapindo menyembur pertama kali di desa Siring, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur pada hari Senin 29 Mei 2006 sekitar pukul 06.00.
Titik semburan terletak sekitar 100 meter arah barat Sumur Banjar Panji 1 milik
PT Lapindo Brantas[1].
Lima
tahun sudah lumpur Lapindo menghancurkan
desa-desa, di Kecamatan Porong. Dan selama lima tahun itulah korban luapan
lumpur lapindo harus menanggung penderitaan dan hidup dengan tanpa kepastian
tentang nasib mereka. Bagaimana nasib warga ini, Lapindo dan pemerintah belum
melakukan apa-apa yang cukup berarti untuk menyelesaikan dampak sosial yang
dialami oleh korban lumpur lapindo tersebut.
Lapindo sebagai sebuah
korporasi yang bergerak dibidang pertambangan minyak dan gas telah secara nyata
menimbulkan penderitaan bagi masyarakat di Porong, Sidoarjo. Tetapi sampai
sekarang lapindo tidak juga mampu disentuh oleh perangkat hukum yang ada di
negeri ini, merupakan suatu hal yang ironi bagi para korban dan akal sehat
manusia. Pertanggungjawaban korporasi lapindo hanya sebatas ganti rugi kepada
para korban sebesar 20% saja dimana kekurangannya sampai sekarang juga belum
tuntas.
Perasaan tanpa
kejelasan dan kepastian nasib ini sudah dialami oleh warga semenjak mereka
merasa bahwa mereka akan diberikan ganti rugi atas semua kerugian yang mereka
derita. Pemerintah yang diharapkan mampu untuk bisa menfasilitasi korban dalam
menyelesaikan dampak social dengan kemudahan-kemudahan. dan Lapindo sebagai
penanggung jawab akan mengganti seluruh kerugian yang dialami oleh warga dengan
semaksimal mungkin, tetapi semua yang diharapkan warga itu tidak kunjung ada
kejelasan.
Pertanggungjawaban
pidana yang dibebankan kepada korporasi pertama kali dikembangkan di
negara-negara yang menganut Common Law System seperti Inggris dan Amerika
Serikat sebagai akibat dari revolusi industri yang dimulai di negara
tersebut. Ada beberapa teori
pertanggungjawaban pidana korporasi yang dijadikan dasar dapat dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Teori pertanggungjawaban pidana
korporasi tersebut antara lain, teori identifikasi (identification theory),
teori pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan teori
pertanggungjawaban ketat (strict liability)[2].
Masyarakat
porong sebagai korban kejahatan korporasi cakupannya memang sangat luas, karena
meliputi semua aspek kehidupan, mulai dari hilangnya tempat berteduh, hilangnya
kesempatan kerja, social cultural dan juga historis masyarakat porong. sehingga
korban kejahatan korporasi perlu mendapat perhatian khusus dalam pencegahan dan
penanggulangan kejahatan korporasi dalam hal ini berupa pertanggungjawaban
pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi. Menjerat Lapindo sebagai
korporasi atas kejahatan yang dilakukannya melalui peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai pertangungjawaban korporasi adalah hal yang penting,
namun yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan perlindungan dan keadilan
kepada korban yang dirugikan oleh PT. Lapindo Brantas.
BAB
II
PERUMUSAN
MASALAH
Dari
latar belakang penulisan yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang
akan dibahas adalah:
1.
Bagaimanakah kebijakan formulasi
pertanggungjawaban pidana PT. Lapindo Brantas terhadap korban masyarakat porong dalam hukum positif Indonesia saat ini?
2.
Bagaimanakah kebijakan formulasi
pertanggungjawaban pidana PT. Lapindo Brantas terhadap korban masyarakat porong
di masa yang akan datang?
BAB
III
PEMBAHASAN
1.
KEBIJAKAN FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA PT. LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN
MASYARAKAT PORONG DALAM HUKUM
POSITIF INDONESIA
KUHP yang berlaku saat ini belum
mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam arti belum mengenal
korporasi sebagai subjek tindak pidana, namun beberapa undang-undang khusus di
luar KUHP telah mengenal korporasi sebagai subjek tindak pidana selain orang. KUHP
yang ada sekarang ini tidak menganut atau mengakui korporasi sebagai subjek
tindak pidana, namun perkembangan hukum di luar KUHP berupa undang-undang
tindak pidana khusus telah menganut prinsip korporasi sebagai subjek tindak
pidana. Perkembangan tersebut juga berpengaruh terhadap perkembangan
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal kejahatan korporasi. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi dapat
dibebankan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan
korporasi.
Kebijakan formulasi pertanggungjawaban
pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi dalam beberapa peraturan
perundang-undangan pidana Indonesia dapat ditemukan antara lain pada : Undang-Undang No. 7/Drt. 1955 tentang Tindak
Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian,
Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos, Undang-Undang No. 9 Tahun 1985
tentang Perikanan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 31
Tahun 2004, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Undang-Undang No. 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 22 Tahun
1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003[3].
Apapun jenis kejahatan yang dilakukan,
korbanlah yang selalu menderita kerugian akibat kejahatan yang terjadi. Korban
juga terus berkembang seiring dengan perkembangan kejahatan. Demikian pula kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi PT. Lapindo Brantas yang menimbulkan korban masyarakat Porong sebagai
korban kejahatan korporasi yang menderita kerugian. Dalam hal ini masyarakat
porong lah yang menderita kerugian baik fisik, mental dan psikis. Sehingga
seharusnya Lapindo berdasarkan peraturan yang tersebar di luar KUHP bisa
digunakan untuk menjerat pemilik dan penanggungjawab PT. Lapindo Brantas.
2. KEBIJAKAN FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PT. LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN MASYARAKAT
PORONG DI MASA YANG AKAN DATANG.
Formulasi pertanggungjawaban pidana Lapindo
tentu saja tidak cukup hanya dengan menyebutkan Lapindo sebagai subjek tindak
pidana saja, melainkan juga harus menentukan
aturan mengenai sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga diperlukan
sebuah upaya reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap
korban kejahatan korporasi di masa yang akan datang, terutama dalam hal ini
adalah PT. Lapindo Brantas. Karena jika hal ini tidak ditangani secara tuntas,
bisa menjadi preseden buruk dalam sejarah
penegakan hukum di Indonesia.
Reorientasi dan reformulasi
pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan korporasi antara lain
meliputi ketentuan mengenai :
1.
ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi;
2.
siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang
dilakukan korporasi;
3. jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek
tindak pidana berupa korporasi yang berorientasi pada pemberian ganti kerugian
kepada korban[4].
Formulasi mengenai ketentuan tersebut
harus diatur secara tegas untuk meminimalisir kemungkinan Lapindo melepaskan
diri dari tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya karena telah
menyengsarakan masyarakat porong. Mustahil memberikan pemenuhan ganti kerugian
yang diderita oleh korban lumpur Lapindo, apabila Lapindo yang dimaksud tidak
dapat dijerat, dituntut, dan dijatuhi pidana berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada.
BAB
IV
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Kebijakan formulasi mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi
terhadap korban kejahatan korporasi yang ada atau berlaku saat ini belum dapat
mewujudkan pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut. Meskipun terdapat
sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi, tetapi sebagian besar ketentuan
tersebut hanya memberikan perlindungan kepada korban potensial dan bukan
pertanggungjawaban terhadap korban aktual atau nyata. Dengan kata lain,
kebijakan formulasi yang ada saat ini belum mampu menjerat dan menjatuhkan
sanksi pidana kepada korporasi yang melakukan kejahatan, terutama sanksi pidana
yang berorientasi pada pemenuhan atau pemulihan hak-hak korban berupa
pembayaran ganti kerugian setelah terjadinya kejahatan. Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi
terhadap korban kejahatan korporasi, antara lain berupa : tidak adanya
keseragaman dalam menentukan kapan suatu
korporasi dapat dikatakan melakukan
tindak pidana, ketidakseragaman dalam pengaturan mengenai siapa yang dapat dipertangunggjawabkan
atau dituntut dan dijatuhi pidana, serta
formulasi jenis pidana yang dapat dikenakan kepada korporasi yang
melakukan tindak pidana.
2.
Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap
korporasi di masa yang akan datang
diharapkan lebih seragam dan konsisten dalam hal penentuan kapan suatu tindak pidana dikatakan sebagai
tindak pidana yang dilakukan korporasi, siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi
pidana dalam kejahatan korporasi, serta jenis-jenis sanksi apa yang sesuai
untuk korporasi yang melakukan kejahatan, terutama dalam rangka memberikan
pemenuhan dan pemulihan hak-hak korban
atas kejahatan yang dilakukan korporasi, serta
dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan korporasi itu
sendiri.
SARAN
1.
Pemerintah harus lebih tegas dalam
menindak PT. Lapindo Brantas dalam hal ini aparat penegak hukum untuk menyeret
orang-orang yang terlibat dan menjadi penyebab terjadinya bencana lumpur
Lapindo dan mendesak agar segera menyelesaikan persoalan ganti rugi masyarakat
korban lumpur Lapindo
2.
Dimasa yang akan datang jika terjadi hal
seperti, pemerintah lebih cepat dalam merespon dalam pertanggungjawaban pidana
sebuah korporasi, sehingga tidak terjadi lagi korban-korban akibat ulah
korporasi.
DAFTAR PUSTAKA
Nawawi Arief, Barda, Kapita Selekta Hukum Pidana,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010
[1]
http://mediaindonesia.com, diakses pada
tanggal 16 juli 2011
[2]
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta hukum Pidana, hal 246
[3]
Ibid, hal 233
[4]
http://ejournal.undip.ac.id
668-1418-1-PB.pdf, hal 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar