Halaman

Sabtu, 28 April 2012

Lapindo oo Lapindo


KEBIJAKAN FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
PT. LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN LUMPUR LAPINDO


BAB I
PENDAHULUAN

Korporasi sebagai buah dari kemajuan zaman telah banyak membawa manfaat bagi banyak orang di dunia. Tujuan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi baik itu berupa suatu badan hukum maupun bukan memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktvitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan memunculkan korban yang menderita kerugian. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hukum sehingga tindakan korporasi yang bertentangan dengan hukum tersebut semakin meluas dan sulit dikontrol. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti kejahatannya terhadaap masyarakat termasuk juga mengintervensi para aparat penegak hukum.

Contoh kasus yang melibatkan korporasi sangat banyak dinegeri ini, salah satunya adalah kasus lumpur panas Lapindo menyembur pertama kali di desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur pada hari Senin 29 Mei 2006 sekitar pukul 06.00. Titik semburan terletak sekitar 100 meter arah barat Sumur Banjar Panji 1 milik PT Lapindo Brantas[1]. Lima tahun  sudah lumpur Lapindo menghancurkan desa-desa, di Kecamatan Porong. Dan selama lima tahun itulah korban luapan lumpur lapindo harus menanggung penderitaan dan hidup dengan tanpa kepastian tentang nasib mereka. Bagaimana nasib warga ini, Lapindo dan pemerintah belum melakukan apa-apa yang cukup berarti untuk menyelesaikan dampak sosial yang dialami oleh korban lumpur lapindo tersebut.
               
Lapindo sebagai sebuah korporasi yang bergerak dibidang pertambangan minyak dan gas telah secara nyata menimbulkan penderitaan bagi masyarakat di Porong, Sidoarjo. Tetapi sampai sekarang lapindo tidak juga mampu disentuh oleh perangkat hukum yang ada di negeri ini, merupakan suatu hal yang ironi bagi para korban dan akal sehat manusia. Pertanggungjawaban korporasi lapindo hanya sebatas ganti rugi kepada para korban sebesar 20% saja dimana kekurangannya sampai sekarang juga belum tuntas.

Perasaan tanpa kejelasan dan kepastian nasib ini sudah dialami oleh warga semenjak mereka merasa bahwa mereka akan diberikan ganti rugi atas semua kerugian yang mereka derita. Pemerintah yang diharapkan mampu untuk bisa menfasilitasi korban dalam menyelesaikan dampak social dengan kemudahan-kemudahan. dan Lapindo sebagai penanggung jawab akan mengganti seluruh kerugian yang dialami oleh warga dengan semaksimal mungkin, tetapi semua yang diharapkan warga itu tidak kunjung ada kejelasan.

Pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada korporasi pertama kali dikembangkan di negara-negara yang menganut Common Law System seperti Inggris dan Amerika Serikat sebagai akibat dari revolusi industri yang dimulai di negara tersebut.  Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang dijadikan dasar dapat dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Teori pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut antara lain, teori identifikasi (identification theory), teori pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan teori pertanggungjawaban ketat (strict liability)[2].   

Masyarakat porong sebagai korban kejahatan korporasi cakupannya memang sangat luas, karena meliputi semua aspek kehidupan, mulai dari hilangnya tempat berteduh, hilangnya kesempatan kerja, social cultural dan juga historis masyarakat porong. sehingga korban kejahatan korporasi perlu mendapat perhatian khusus dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan korporasi dalam hal ini berupa pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi. Menjerat Lapindo sebagai korporasi atas kejahatan yang dilakukannya melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pertangungjawaban korporasi adalah hal yang penting, namun yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan perlindungan dan keadilan kepada korban yang dirugikan oleh PT. Lapindo Brantas.



BAB II
PERUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang penulisan yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah:
1.      Bagaimanakah kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana PT. Lapindo Brantas terhadap korban masyarakat porong  dalam hukum positif Indonesia saat  ini?
2.      Bagaimanakah kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana PT. Lapindo Brantas terhadap korban masyarakat porong di masa yang akan datang?
 

BAB III
PEMBAHASAN

1.         KEBIJAKAN FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA   PT. LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN MASYARAKAT PORONG  DALAM HUKUM POSITIF   INDONESIA
KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam arti belum mengenal korporasi sebagai subjek tindak pidana, namun beberapa undang-undang khusus di luar KUHP telah mengenal korporasi sebagai subjek tindak pidana selain orang. KUHP yang ada sekarang ini tidak menganut atau mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana, namun perkembangan hukum di luar KUHP berupa undang-undang tindak pidana khusus telah menganut prinsip korporasi sebagai subjek tindak pidana. Perkembangan tersebut juga berpengaruh terhadap perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal kejahatan korporasi.  Hal ini tentu saja membawa konsekuensi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi. 
Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dapat ditemukan antara lain pada :  Undang-Undang No. 7/Drt. 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos, Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003[3].
Apapun jenis kejahatan yang dilakukan, korbanlah yang selalu menderita kerugian akibat kejahatan yang terjadi. Korban juga terus berkembang seiring dengan perkembangan kejahatan.  Demikian pula kejahatan yang dilakukan oleh korporasi PT. Lapindo Brantas yang menimbulkan korban masyarakat Porong sebagai korban kejahatan korporasi yang menderita kerugian. Dalam hal ini masyarakat porong lah yang menderita kerugian baik fisik, mental dan psikis. Sehingga seharusnya Lapindo berdasarkan peraturan yang tersebar di luar KUHP bisa digunakan untuk menjerat pemilik dan penanggungjawab PT. Lapindo Brantas.

2.  KEBIJAKAN FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN   PIDANA PT. LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN MASYARAKAT PORONG DI MASA YANG AKAN DATANG.
Formulasi pertanggungjawaban pidana Lapindo tentu saja tidak cukup hanya dengan menyebutkan Lapindo sebagai subjek tindak pidana saja, melainkan juga harus menentukan  aturan mengenai sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga diperlukan sebuah upaya reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan korporasi di masa yang akan datang, terutama dalam hal ini adalah PT. Lapindo Brantas. Karena jika hal ini tidak ditangani secara tuntas, bisa menjadi preseden buruk dalam sejarah  penegakan hukum di Indonesia.
Reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan korporasi antara lain meliputi ketentuan mengenai : 
1.  ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi;
2.  siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan korporasi; 
3. jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana berupa korporasi yang berorientasi pada pemberian ganti kerugian kepada korban[4].
Formulasi mengenai ketentuan tersebut harus diatur secara tegas untuk meminimalisir kemungkinan Lapindo melepaskan diri dari tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya karena telah menyengsarakan masyarakat porong. Mustahil memberikan pemenuhan ganti kerugian yang diderita oleh korban lumpur Lapindo, apabila Lapindo yang dimaksud tidak dapat dijerat, dituntut, dan dijatuhi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.

 
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN  
1.  Kebijakan formulasi mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi yang ada atau berlaku saat ini belum dapat mewujudkan pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut. Meskipun terdapat sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi, tetapi sebagian besar ketentuan tersebut hanya memberikan perlindungan kepada korban potensial dan bukan pertanggungjawaban terhadap korban aktual atau nyata. Dengan kata lain, kebijakan formulasi yang ada saat ini belum mampu menjerat dan menjatuhkan sanksi pidana kepada korporasi yang melakukan kejahatan, terutama sanksi pidana yang berorientasi pada pemenuhan atau pemulihan hak-hak korban berupa pembayaran ganti kerugian setelah terjadinya kejahatan.  Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam formulasi    pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi, antara lain berupa : tidak adanya keseragaman dalam menentukan kapan  suatu korporasi dapat dikatakan  melakukan tindak pidana, ketidakseragaman dalam pengaturan mengenai  siapa yang dapat dipertangunggjawabkan atau  dituntut dan  dijatuhi pidana,  serta  formulasi jenis pidana yang dapat dikenakan kepada korporasi yang melakukan tindak  pidana.
2.      Kebijakan formulasi  pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korporasi di masa yang  akan datang diharapkan lebih seragam dan konsisten dalam hal penentuan  kapan suatu tindak pidana dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan korporasi, siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana dalam kejahatan korporasi, serta jenis-jenis sanksi apa yang sesuai untuk korporasi yang melakukan kejahatan, terutama dalam rangka memberikan pemenuhan dan  pemulihan hak-hak korban atas kejahatan yang dilakukan korporasi, serta  dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan korporasi itu sendiri.


SARAN
1.      Pemerintah harus lebih tegas dalam menindak PT. Lapindo Brantas dalam hal ini aparat penegak hukum untuk menyeret orang-orang yang terlibat dan menjadi penyebab terjadinya bencana lumpur Lapindo dan mendesak agar segera menyelesaikan persoalan ganti rugi masyarakat korban lumpur Lapindo
2.      Dimasa yang akan datang jika terjadi hal seperti, pemerintah lebih cepat dalam merespon dalam pertanggungjawaban pidana sebuah korporasi, sehingga tidak terjadi lagi korban-korban akibat ulah korporasi.
 
DAFTAR PUSTAKA

Nawawi Arief, Barda, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010




[1] http://mediaindonesia.com, diakses pada tanggal 16 juli 2011
[2] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta hukum Pidana, hal 246
[3] Ibid, hal 233
[4] http://ejournal.undip.ac.id 668-1418-1-PB.pdf, hal 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar