Halaman

Rabu, 17 November 2010

Daftar Pemilih Tetap dalam tahapan Pemilu


Kabupaten Demak akan menggelar pesta demokrasi pada maret 2011 yaitu memilih Bupati dan Wakilnya untuk lima tahun kedepan, salah satu tahapan yang paling krusial adalah penentuan daftar pemilih atau yang lebih sering dikenal  dengan istilah DPT, mengapa DPT merupakan hal yang paling krusial , hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa pemenang pemilukada ditentukan oleh banyaknya suara yang diperoleh, sehingga DPT merupakan hal yang akan dipersoalkan oleh pasangan calon jika mereka kalah,  sehingga DPT merupakan tahapan yang harus menjadi perhatian oleh KPU dan stakeholdernya tanpa mengabaikan tahapan pemilukada yang lain.
 Belum hilang dari ingatan kita, bagaimana kisruhnya penentuan Daftar Pemilih Tetap atau DPT pada Pemilihan Umum Tahun 2009 yang lalu telah  memaksa Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan tentang kisruh DPT tersebut. MK memutuskan pemilih yang tak terdaftar dalam DPT boleh menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 8 Juli, dengan menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor. Adapun syarat memilih menggunakan KTP dan Paspor adalah KTP dan paspor masih berlaku. Harus turut membawa kartu keluarga (KK) atau nama sejenisnya. Hanya boleh memilih di TPS yang berada di RT/RW --atau nama sejenisnya-- yang sesuai dengan alamat yang tertera di KTP. Sebelum memilih, yang bersangkutan mendaftarkan diri kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) atau petugas TPS. Menggunakan hak pilihnya satu jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar Negeri (TPSLN). Putusan Mahkamah Mahkamah Nomor : 102/PUU-VII/2009 tanggal 6 Juli 2009 tersebut telah menjawab akan hak konstitusioanal warga negara. Adapun bunyi putusan Mahkamah Konstitusi itu adalah sebagai berikut:
· Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
· Menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dengan syarat dan cara sebagai berikut:
1. Selain Warga Negara Indonesia yang terdaftar dalam DPT, Warga Negara Indonesia yang   belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara
Indonesia yang berada di luar negeri;
2. Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;
3. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya;
4. Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;
5. Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar Negeri setempat.
· Menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya;
· Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Kalau kita lihat putusan MK ini berdasarkan sistem birokrasi yang bersifat postbirokratik, putusan ini harus dilihat sebagai upaya MK untuk keluar dari kooptasi birokrasi, artinya MK menginginkan hak-hak konstitusional warga negaranya terpenuhi walaupun harus menabrak aturan UU No 42/ 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakl Presiden yang menyatakan bahwa pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap, tetapi aturan itu dikandaskan oleh keputusan MK. Dan semoga saja putusan MK ini bisa menjadi yurisprudensi bagi KPU Propinsi dan kabupaten yang akan menggelar pemilukada.
Selanjutnya adalah makna dibalik putusan ini adalah MK menginginkan agar dikemudian hari kisruh soal DPT ini tidak terjadi lagi sehingga hak-hak konstitusional warga bisa terpenuhi, tetapi kisruh tentang DPT ini masih akan sulit untuk diatasi karena ada beberapa hal yang mempersulit pendataan DPT, yaitu:
1.      Pendataan yang dilakukan oleh Pemerintah sendiri berbeda antar instansi, dalam hal ini kita masih merasakan aturan yang tumpang tindih antara lembaga seperti BPS, Dispendukcapil yang dibawah Kemendagri dan lembaga-lembaga yang lain.
2.      Kesadaran masyarakat tentang pentingnya berdemokrasi atau pendidikan politik masih rendah, artinya masyarakat masih tidak perduli terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para penyelenggara Pemilu, agar mereka mau  proaktif melaporkan dirinya jika belum masuk dalam DPS atau DPT, mereka baru ribut ketika tidak mendapatkan undangan untuk memilih.
Hal inilah yang masih menjadi tantangan yang menyulitkan pemerintah dalam hal ini penyelenggara pemilu untuk membuat agar DPT bisa akurat.
Sebagai penutup dari tulisan ini setidaknya terdapat beberapa saran yang mungkin bisa dilakukan oleh stakeholder agar persoalan semacam ini tidak selalu terulang di Pemilu yang akan datang
1.      Melakukan Pendataan penduduk secara nasional yang kewenangannya diberikan dalam satu lembaga sehingga tidak tumpang tindih dan selalu melakukan pembaharuan pendataan penduduk.
2.      Melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, terutama masyarakat yang berada dikawasan pedesaan dan phery-phery yang merupakan kaum dengan akses informasi terbatas.
3.      Sosialisasi yang terus-menerus secara intens kepada masyarakat terkait pentingnya kehidupan berdemokrasi melalui pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar