Halaman

Kamis, 07 Februari 2013

KISRUH DP4 (Lagi)



Pemilukada gubernur Jawa Tengah saat ini sudah dalam tahapan coklit yang baru saja selesai kemaren per 4 Februari. Banyak sekali hal menarik yang terjadi terkait dengan coklit yang dilakukan oleh KPU dan jajarannya. Dari mulai masih munculnya nama orang yang sudah meninggal, usia yang belum 17 tahun sampai nama-nama setan pun bermunculan. Kejadian yang agak unik ini terjadi di Kabupaten Purwodadi, terdapat nama-nama makhluk halus yang tercantum sebagai daftar penduduk potensial pemilih alias DP4, seperti kolor ijo, gundul pecengis, suster ngesot lengkap dengan NIK-nya.
Di kabupaten Blora juga ditemukan nama dan alamat yang tercantum sudah lengkap, tetapi ketika nama-nama ini dikonfirmasi ke tetangga terdekat, mereka tidak bisa menunjukkan orang yang dimaksud, sehingga ada kesan bahwa nama-nama tersebut bukanlah penduduk asli dari wilayah Blora. Sedangkan di kecamatan Wedung, kabupaten Demak juga terdapat satu nama penduduk bernama kematian yang tidak jelas alamatnya bisa tercantum di DP4.
Masih terdapatnya nama-nama yang sudah meninggal, selalu terulang setiap kali menjelang proses pemilu, juga pilkada baik itu bupati maupun gubernur. Artinya masih terjadi kelemahan dalam sistem administrasi kependudukan. Dinas kependudukan dan catatan sipil harus segera memperbaiki sistem administrasi yang ada pada mereka, karena hal ini berpotensi menjadikan pemilu rentan terjadi kecurangan, baik itu karena sistem ataupun memanfaatkan kelemahan dalam proses coklitnya.
Harapan dari lemahnya sistem administrasi kependudukan kita sebenarnya sudah coba dibenahi dengan adanya kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), tetapi sampai sekarang proses tersebut belum juga rampung. Bahkan dari hasil e-KTP itu justru sekarang ini malah membingungkan, karena terjadi perbedaan jumlah pemilih di Jawa Tengah dengan selisih mencapai 6,7 juta penduduk (Suara Merdeka, tgl 7 Des 2012). Perbedaan data DAK2 dari Kemendagri dengan jumlah penduduknya sebanyak 32,57 juta yang akan digunakan untuk Pemilu Legislatif memang berbeda cukup signifikan dengan data SIAK dari Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Jawa Tengan sebanyak 39,29 juta penduduk. Sistem administrasi kependudukan negara kita yang sangat rapuh memang mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan cara memasukkan nama-nama ataupun data yang tidak valid.
            KPU sebagai lembaga pelaksana memang tidak bisa mengutak-atik jumlah tersebut, yang bisa dilakukan oleh KPU adalah memaksimalkan kinerja PPDP sebagai ujung tombak dalam proses coklit sehingga hasil yang didapatkan sesuai dengan realita yang ada. Persoalannya adalah masih banyak petugas PPDP sebagai ujung tombak keberhasilan proses coklit ini, melaksanakan tugasnya dengan cara “main tembak” alias tidak melakukan kunjungan ke kepala keluarga satu-persatu. Mereka hanya mendata dari rumah sendiri, lalu menempelkan striker dan memberikan kertas sebagai tanda bahwa mereka telah dicoklit (model A.3.3-KWK.KPU).
            Dinas kependudukan dan catatan sipil sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap data kependudukan harus mereformasi institusi mereka, agar kedepan tidak selalu muncul persoalan yang sama. Para pemangku kepentingan harus segera bertemu untuk kemudian mencari dimana letak kesalahan data tersebut, sehingga hasil dari pemilu yang akan datang tidak menjadi preseden buruk bagi terjadinya penurunan kualitas demokrasi kita yang tentunya akan berpengaruh terhadap kepemimpinan daerah.