Halaman

Jumat, 11 Mei 2012

KEBIJAKAN FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PT. LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN LUMPUR LAPINDO


BAB I
PENDAHULUAN

Korporasi sebagai buah dari kemajuan zaman telah banyak membawa manfaat bagi banyak orang di dunia. Tujuan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi baik itu berupa suatu badan hukum maupun bukan memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktvitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan memunculkan korban yang menderita kerugian. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hukum sehingga tindakan korporasi yang bertentangan dengan hukum tersebut semakin meluas dan sulit dikontrol. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti kejahatannya terhadaap masyarakat termasuk juga mengintervensi para aparat penegak hukum.
Kejahatan korporasi dewasa ini semakin canggih baik bentuk ataupun jenisnya maupun modus operandinya sering melampaui batas-batas negara dan juga sering dipengaruhi oleh negara lain akibat dari era globalisasi. Sebagai dampak era globalisasi, kejahatan korporasi yang menonjol adalah price fixing (memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan iklan), seperti di bidang farmasi (obat-obatan), kejahatan perbankan seperti cyber brime, money laundering, illegal logging, dan kejahatan lingkungan hidup (environmental crime). [1]
Contoh kasus yang melibatkan korporasi dalam kejahatan lingkungan hidup sangat banyak di negeri ini, salah satunya adalah kasus lumpur panas Lapindo yang menyembur pertama kali di desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur pada hari Senin 29 Mei 2006 sekitar pukul 06.00. Titik semburan terletak sekitar 100 meter arah barat Sumur Banjar Panji 1 milik PT Lapindo Brantas[2]. Enam tahun  sudah lumpur Lapindo menghancurkan desa-desa, di Kecamatan Porong. Dan selama enam tahun itulah korban luapan lumpur Lapindo harus menanggung penderitaan dan hidup dengan tanpa kepastian tentang nasib mereka. Bagaimana nasib warga ini, Lapindo dan pemerintah belum melakukan apa-apa yang cukup berarti untuk menyelesaikan dampak sosial yang dialami oleh korban lumpur lapindo tersebut.
                Lapindo sebagai sebuah korporasi yang bergerak dibidang pertambangan minyak dan gas telah secara nyata menimbulkan penderitaan bagi masyarakat di Porong, Sidoarjo. Tetapi sampai sekarang Lapindo tidak juga mampu disentuh oleh perangkat hukum yang ada di negeri ini, merupakan suatu hal yang ironi bagi para korban dan akal sehat manusia. Pertanggungjawaban korporasi lapindo hanya sebatas ganti rugi kepada para korban sebesar 20% saja dimana kekurangannya sampai sekarang juga belum tuntas.
Perasaan tanpa kejelasan dan kepastian nasib ini sudah dialami oleh warga semenjak mereka merasa bahwa mereka akan diberikan ganti rugi atas semua kerugian yang mereka derita. Pemerintah yang diharapkan mampu untuk bisa menfasilitasi korban dalam menyelesaikan dampak social dengan kemudahan-kemudahan. dan Lapindo sebagai penanggung jawab akan mengganti seluruh kerugian yang dialami oleh warga dengan semaksimal mungkin, tetapi semua yang diharapkan warga itu tidak kunjung ada kejelasan.
Pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada korporasi pertama kali dikembangkan di negara-negara yang menganut Common Law System seperti Inggris dan Amerika Serikat sebagai akibat dari revolusi industri yang dimulai di negara tersebut.  Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang dijadikan dasar dapat dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Teori pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut antara lain, teori identifikasi (identification theory), yaitu doktrin yang menyebutkan kesalahan dari anggota direksi atau organ perusahaan/korporasi yang tidak menerima perintah dari tingkatan yang lebih tinggi dalam perusahaan, dapat dibebankan kepada perusahaan/ korporasi. Teori pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yaitu doktrin yang menyebutkan bahwa korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi tanggungjawab korporasi. Teori pertanggungjawaban ketat (strict liability)[3] yaitu prinsip pertanggungjawaban pidana tanpa harus mensyaratkan unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana, yang sampai sekarang masih menganut asas kesalahan.  
Masyarakat porong sebagai korban kejahatan korporasi cakupannya memang sangat luas, karena meliputi semua aspek kehidupan, mulai dari hilangnya tempat berteduh, hilangnya kesempatan kerja, social cultural dan juga historis masyarakat porong. sehingga korban kejahatan korporasi perlu mendapat perhatian khusus dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan korporasi dalam hal ini berupa pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi. Menjerat Lapindo sebagai korporasi atas kejahatan yang dilakukannya melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pertangungjawaban korporasi adalah hal yang penting, namun yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan perlindungan dan keadilan kepada korban yang dirugikan oleh PT. Lapindo Brantas.

 
BAB II
PERUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang penulisan yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah:
1.      Bagaimanakah kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana PT. Lapindo Brantas terhadap korban masyarakat porong  dalam hukum positif Indonesia saat  ini?
2.      Bagaimanakah kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana PT. Lapindo Brantas terhadap korban masyarakat porong di masa yang akan datang?

 
BAB III
PEMBAHASAN

1.         KEBIJAKAN FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA   PT. LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN MASYARAKAT PORONG  DALAM HUKUM POSITIF   INDONESIA
Korporasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin yang berarti hasil dari pekerjaan yang membadankan, dengan kata lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.[4] Korporasi erat kaitannya dengan bidang hukum perdata, sebab pengertian korporasi merupakan terminology yang erat kaitannya dengan istilah badan hukum (rechtspersoon). Menurut Rudi prasetyo korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.[5] Sedangkan menurut Rochmat Soemitro korporasi adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak, serta berkewajiban seperti seorang pribadi.[6]
Tindak pidana korporasi adalah kejahatan yang bersifat organisatoris yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan dewan direksi, eksekutif dan manajer disatu sisi dan diantara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi lain. Ada 3 sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana yaitu:
1.      Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah harus bertanggung jawab;
2.      Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab;
3.      Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.[7]
Berdasarkan hukum pidana di Indonesia pada saat ini, pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi dapat dibebankan kepada:
1.      Korporasi itu sendiri;
2.      Organ/pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pidana;
3.      Pengurus korporasi sebagai pemberi perintah.[8]
KUHP yang berlaku saat ini belum mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam arti belum mengenal korporasi sebagai subjek tindak pidana, namun beberapa undang-undang khusus di luar KUHP telah mengenal korporasi sebagai subjek tindak pidana selain orang. KUHP yang ada sekarang ini tidak menganut atau mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana, namun perkembangan hukum di luar KUHP berupa undang-undang tindak pidana khusus telah menganut prinsip korporasi sebagai subjek tindak pidana. Perkembangan tersebut juga berpengaruh terhadap perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal kejahatan korporasi.  Hal ini tentu saja membawa konsekuensi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi. 
Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dapat ditemukan antara lain pada :  Undang-Undang No. 7/Drt. 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 tentang Pos, Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003[9].
Tindak pidana korporasi di Indonesia tentang lingkungan hidup, diatur dalam pasal 116 sampai dengan 119 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Dalam Pasal 119, diatur ancaman hukuman kepada korporasi dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Sedangkan untuk  pemimpin dan pemberi perintah dalam korporasi juga diancam hukuman penjara dan atau denda. Hal ini dikarenakan pengurus korporasi adalah individu yang mempunyai kedudukan atau kekuasaan sosial dalam lingkup perusahaan tempat mereka bekerja. Oleh sebab itu selain menikmati kedudukan sosial, harus diiringi dengan tanggungjawab. Dalam Pasal 116, yang dapat dikenakan pertanggungjawaban korporasi tidak hanya badan hukum/korporasinya saja  akan tetapi juga para pengurusnya. Sementara dalam Pasal 117 diatur tentang pemberi perintah atau pemimpin ancaman pidana yang dijatuhkan berupa penjara dan denda ditambah sepertiga.
Kejahatan korporasi ditinjau dari bentuk dan subyek dan motifnya, dapat dikategorikan dalam White Collar Crime. Suratno dalam Millar ( White Collar Crime, 2005) menyatakan bahwa kejahatan korporasi terbagi dalam 4 kategori yaitu:
1.      Kejahatan perusahaan (corporate crime) yang pelakunya adalah kalangan eksekutif, dengan melakukan kejahatan demi keuntungan atau kepentingan korporasi.
2.      Kejahatan yang pelakunya adalah para pejabat atau birokrat, melakukan kejahatan untuk kepentingan dan atas persetujuan atau perintah negara atau pemerintah.
3.      Kejahatan malpraktek, yang pelakunya adalah kalangan profesional seperti dokter, psikater, ahli hukum, pialang,  akuntan, penilai (adjuster) dan berbagai profesi lainnya yang memiliki kode etik profesi, melakukan kesalahan professional dengan sengaja, dikategorikan sebagai professional occupational crime.
4.      Ditujukan kepada perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para pengusaha, pemilik modal atau orang-orang yang independent lainnya, walaupun tidak tinggi sosial ekonominya, tetapi berjiwa petualang.[10]
Belum jelasnya pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana, menyebabkan proses penegakan hukum yang menyangkut korporasi sebagai pelakunya dalam praktik sulit sekali ditemukan. Bahkan dalam beberapa putusan pengadilan yang seharusnya korporasi dapat dituntut, tetapi dalam putusannya yang dituntut dan dipidana hanya pengurus dari korporasi tersebut.
Apapun jenis kejahatan yang dilakukan, korbanlah yang selalu menderita kerugian akibat kejahatan yang terjadi. Korban juga terus berkembang seiring dengan perkembangan kejahatan.  Demikian pula kejahatan yang dilakukan oleh korporasi PT. Lapindo Brantas yang menimbulkan korban masyarakat Porong sebagai korban kejahatan korporasi yang menderita kerugian. Dalam hal ini masyarakat porong lah yang menderita kerugian baik fisik, mental dan psikis. Sehingga seharusnya Lapindo berdasarkan peraturan yang tersebar di luar KUHP bisa digunakan untuk menjerat pemilik dan penanggungjawab PT. Lapindo Brantas.
Tetapi faktanya sampai saat ini PT. Lapindo Brantas masih bisa beroperasi, sementara direksi ataupun pemilik dari korporasi ini tidak ada satupun yang menjalani proses pidana. Yang lebih tragis adalah anggaran negara digunakan untuk penanggulangan bencana lumpur yang diakibatkan oleh PT. Lapindo yang saat ini sudah mencapai angka Rp 7 Triliun.[11]

2.  KEBIJAKAN FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN   PIDANA PT. LAPINDO BRANTAS TERHADAP KORBAN MASYARAKAT PORONG DI MASA YANG AKAN DATANG.
Beberapa pendekatan dalam hukum pidana harus berorientasi pada kebijakan, berorientasi pada nilai, dan pendekatan yang bersifat humanistik. Berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN dinyatakan, “…memperbarui perundang-undangan warisan colonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”
 KUHP yang sekarang kita gunakan adalah warisan penjajah Belanda yang tidak mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana. Sehingga diperlukan reformulasi kebijakan legislasi dalam menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam KUHP yang dicita-citakan sebagai ius constituendem.
Formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi tentu saja tidak cukup hanya dengan menyebutkan korporasi sebagai subjek tindak pidana saja, melainkan juga harus menentukan  aturan mengenai sistem pidana dan pemidanaannya, sehingga diperlukan sebuah upaya reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan korporasi di masa yang akan datang, terutama dalam hal ini adalah PT. Lapindo Brantas. Karena jika hal ini tidak ditangani secara tuntas, bisa menjadi preseden buruk dalam sejarah  penegakan hukum di Indonesia.
Dalam konsep KUHP 2000, ketentuan mengenai korporasi diatur dalam pasal 44 sampai dengan Pasal 49. Dari perumusan konsep tersebut, terlihat pokok-pokok kebijakan yang diatur sebagai berikut:
1.      Penegasan korporasi sebagai subjek tindak pidana (Pasal 44).
2.      Penentuan siapa yang dapat bertanggungjawab (Pasal 45).
3.      Penentuan kapan korporasi dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 46).
4.      Penentuan kapan pengurus dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 47).
5.      Penentuan pidana sebagai ultimum remedium bagi korporasi (Pasal 48).
6.      Penentuan alasan pembenar dan pemaaf bagi korporasi (Pasal 49).[12]

Reorientasi dan reformulasi pertanggungjawaban pidana terhadap korban kejahatan korporasi antara lain meliputi ketentuan mengenai : 
1.  Ketentuan mengenai kapan suatu tindak pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi;
2.  Siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukan korporasi; 
3. Jenis-jenis sanksi yang sesuai dengan subjek tindak pidana berupa korporasi yang berorientasi pada pemberian ganti kerugian kepada korban[13].
Reorientasi dan reformulasi dalam kebijakan legislasi terhadap system pertanggungjawaban pidana korporasi, mencakup beberapa hal, yaitu:
1.      Perlu dilakukan pengkajian ulang tentang penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana secara umum dan dimasukkan ke dalam KUHP yang akan datang. Hal ini sudah tertampung dalam konsep KUHP 2004-2005, ius constituendum. Karena selama ini kebijakan legislasi tentang penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus.
2.      Mengenai penggunaan istilah “korporasi”, hendaknya digunakan secara konsisten. Sedangkan, selama ini penggunaan istilah korporasi digunakan istilah yang bermacam-macam dan tidak seragam. Maka, untuk masa yang akan datang, dalam melakukan kebijakan legislasi seyogyanya digunakan istilah korporasi.
3.      Perlu dilakukan reformulasi tentang pola aturan pemidanaan untuk pemidanaan korporasi sehingga seragam dan konsisten.[14]
Formulasi mengenai ketentuan tersebut harus diatur secara tegas untuk meminimalisir kemungkinan Lapindo melepaskan diri dari tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya karena telah menyengsarakan masyarakat porong. Mustahil memberikan pemenuhan ganti kerugian yang diderita oleh korban lumpur Lapindo, apabila Lapindo yang dimaksud tidak dapat dijerat, dituntut, dan dijatuhi pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Selama ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa penegakan hukum di Indonesia memang masih jauh dari yang diharapkan, termasuk penegakan hukum bidang lingkungan hidup dengan menggunakan sarana hukum pidana. Ruwet dan rumitnya penyelesaian perkara tindak pidana lingkungan hidup (TPLH) yang dilakukan oleh korporasi PT. Lapindo melalui proses peradilan telah banyak dikemukakan dan dibahas oleh para pakar. Hal tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari sistem administrasi dan manajemen yang terdapat di dalam lembaga peradilan.
Rumitnya penanganan perkara TPLH, bukan hanya kesulitan-kesulitan yang dihadapi para aparat penegak hukum seperti pembuktian dan sebagainya, tetapi juga karena banyaknya lembaga yang terlibat dalam penanganan kasus TPLH. Untuk sampai ke Pengadilan, kasus  lumpur yang mengubur tempat tinggal masyarakat orong harus melalui berbagai lembaga-lembaga yang berwenang menangani masalah lingkungan hidup. Koordinasi terpadu antar lembaga-lembaga yang bersangkutan dan lembaga penegak hukum selama ini masih jauh dari harapan.
Kesulitan mencari alat bukti dan kesulitan mencari saksi ahli yang  “independen” merupakan sebagian alasan, sebagaimana dengan proses penyidikan proses penyidikan TPLH pada umumnya. Disamping itu persidangannya sendiri juga memakan waktu yang panjang dan lama, sehingga dapat dipastikan kerusakan lingkungan yang terjadi semakin parah dan masyarakat porong yang menjadi korban semakin menderita. Perlindungan lingkungan hidup yang menjadi tujuan penegakan hukum menjadi semakin jauh dari harapan.
Proses panjang dan rumitnya penyelesaian perkara TPLH melalui sistem peradilan pidana, tidak terlepas dari kebijakan menerapkan asas ultimum remidium dalam penegakan hukum lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalan UUPLH. Dengan menerapkan asas ini, penegakan hukum lingkungan dengan menggunakan sarana hukum pidana, bukanlah menjadi prioritas. Sistem peradilan pidana baru bekerja untuk melakukan penegakan hukum lingkungan, setelah penegakan hukum lingkungan dengan sarana hukum administrasi tidak berhasil.
Mendahulukan penggunaan sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan sejalan dengan apa yang disarankan oleh Muladi yang menghendaki penegakan hukum lingkungan dengan sarana hukum pidana lebih dikedepankan karena tindak pidana lingkungan hidup termasuk white collar crime. Dalam kerangka itu pula demi kepentingan nasional hukum pidana harus digunakan secara komplementer dengan hukum perdata dan hukum administrasi sebagai obat utama (primum remidium).[15]
Sudah saatnya asas ultimum remidium sebagai sarana penggunaan hukum pidana dalam penegakan hukum pidana ditinggalkan, dan diganti dengan asas primum remidium. Artinya penggunaan hukum pidana dalam penegakan hukum pidana didahulukan atau tidak perlu menunggu penegakan hukum administrasi. Dengan asas primum remidium, kasus kejahatan lingkungan yang terjadi dapat segera diselesaikan penegakannya dengan menggunakan sarana hukum pidana.


 BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN  
1.  Kebijakan formulasi mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi yang ada atau berlaku saat ini belum dapat mewujudkan pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut. Meskipun terdapat sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi dan direksi, tetapi sebagian besar ketentuan tersebut hanya memberikan perlindungan kepada korban potensial dan bukan pertanggungjawaban terhadap korban aktual atau nyata. Dengan kata lain, kebijakan formulasi yang ada saat ini belum mampu menjerat dan menjatuhkan sanksi pidana kepada korporasi yang melakukan kejahatan terhadap lingkungan, terutama sanksi pidana yang berorientasi pada pemenuhan atau pemulihan hak-hak korban berupa pembayaran ganti kerugian setelah terjadinya kejahatan.  Ketidakmampuan tersebut disebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban kejahatan korporasi, antara lain berupa : tidak adanya keseragaman dalam menentukan kapan  suatu korporasi dapat dikatakan  melakukan tindak pidana, ketidakseragaman dalam pengaturan mengenai  siapa yang dapat dipertangunggjawabkan atau  dituntut dan  dijatuhi pidana,  serta  formulasi jenis pidana yang dapat dikenakan kepada korporasi yang melakukan tindak  pidana.
2.      Kebijakan formulasi  pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korporasi di masa yang  akan datang diharapkan lebih seragam dan konsisten dalam hal penentuan  kapan suatu tindak pidana dikatakan sebagai tindak pidana yang dilakukan korporasi, asas ultimum remidium sebagai sarana hukum sudah tidak  layak sehingga harus diganti dengan primum remidium, serta jenis-jenis sanksi apa yang sesuai untuk korporasi yang melakukan kejahatan, terutama dalam rangka memberikan pemenuhan dan  pemulihan hak-hak korban atas kejahatan yang dilakukan korporasi, serta  dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan korporasi itu sendiri.




SARAN
1.      Pemerintah harus lebih tegas dalam menindak PT. Lapindo Brantas dalam hal ini aparat penegak hukum untuk menyeret orang-orang yang terlibat dan menjadi penyebab terjadinya bencana lumpur Lapindo dan mendesak agar segera menyelesaikan persoalan ganti rugi masyarakat korban lumpur Lapindo
2.      Dimasa yang akan datang jika terjadi hal seperti, pemerintah lebih cepat dalam merespon dalam pertanggungjawaban pidana sebuah korporasi, sehingga tidak terjadi lagi korban-korban akibat ulah korporasi.

 
DAFTAR PUSTAKA

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana korporasi, Kencana Prenada Media group, Bandung, 2010.
Nawawi Arief, Barda, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010
Nirmala Sari, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Disertasi, Undip, Semarang, 2010
http://ejournal.undip.ac.id diakses 16 Juli 2011



[1] Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana korporasi, Bandung, Kencana Prenada Media group, 2010, hal 3
[2] http://mediaindonesia.com, diakses pada tanggal 16 juli 2011
[3] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta hukum Pidana, hal 246
[4] Ibid, hal 23
[5] Ibid, hal 210
[6] http://yeremiaindonesia.wordpress.com/tag/pengertian-korporasi-menurut-ahli/
[7] http://www.scribd.com/doc/50178476/MAKALAH-PIDANA-KORPORASI
[8] Ibid
[9] Ibid, hal 233
[10] Ibid
[12] Barda, ibid, hal 245
[13] http://ejournal.undip.ac.id 668-1418-1-PB.pdf, hal 25
[14] Muladi, ibid, hal 229
[15] Nirmala Sari, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Disertasi, Undip, Semarang, 2010, hal 215